Selamat datang di Hardi Susandi.Com

Wednesday, May 19, 20100 komentar

PENGAUDITAN  SYARIAH, PARADIKMA BARU DALAM EKONOMI ISLAM
Siti Murtiyani, SE.,M.Si.,Ak,.Phd

Sistem Ekonomi Islam dan   Hukum Islam (Sya’riah).
            Ilmu ekonomi yang kita kenal selama ini adalah salah satu cabang ilmu sosial yang sangat kuantitatif, struktur ekonomi dapat dilukiskan sebagai lima struktural yaitu filsafat dasar, prinsip-prinsip aksiomatik, teori matematik, kebijakan dan instrumen (Armahedi Mahzar, 2005). Banyak orang mempertanyakan kembali dasar-dasar filosofis ilmu ekonomi yang diduga merupakan sumber kelemahan ekonomi modern, sebab pandangan filosofis dasar ekonomi bersifat materialistik oleh kerana menekankan teorinya kepada uang dan kapital, serta adanya pemisahan sains dan ekonomi dari ilmu-ilmu keagamaan, khesnya  Agama Islam.
            Epistimologi dasar Ilmu ekonomi barat lebih mementingkan rasionalisme, konsumen-konsumen dalam teori ekonomi adalah orang yang berpikir rasional untuk belanja semurah-murahnya, sedangkan produsen-produsen berusaha secara rasional menekan biaya produksi untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya. Ilmu ekonomi juga menekankan empirisme dengan melakukan pengamatan statistik pada pasar untuk menguji kebenaran teori ekonominya. Pada akhirnya ilmu ekonomi mencoba
mereduksi gejala pasar menjadi perilaku individualistik para konsumen.
            Ekonomi Islam menekankan kepada dimensi-dimensi ‘ubudiyah dan mu’amalah, dua aspek yang saling tegak lurus dan saling melengkapi satu sama lainnya. Dimensi ‘ubudiyah iaitu mengatur tata cara dan upacara hubungan langsung antara manusia dengan Allah SWT, yang kaidahnya ditentukan dalam Al-Qur’an, diperinci dan dijelaskan dengan sunnah Nabi Muhammad SAW. Dimensi mu’amalah mengatur hubungan manusia lain dan benda dalam masyarakat, seperti: jual beli, utang piutang, kewarisan, perkawinan dan lain-lain. Pengaturan lebih lanjut menurut ruang dan waktu berdasarkan Al-Qur’an dan Nunah Nabi (H.M. Daud Ali, 1983). Sedangkan tujuan ekonomi Islam adalah keadilan berupa hubungan harmonis yang komplementer diantara berbagai sektor. Ekonomi Islam mencegah ketimpangan-ketimpangan melalui aktivitas seperti musyarakah, mudharabah, yang tidak mengenal riba yang memisahkan sektor moneter dari sektor riil, dalam implikasi ekonomi Islam difokuskan kepada peraturan yang menekankan pada penghapusan suku bunga dalam sistem keuangannya (Kursid Ahmad, 2000; Chapra, 1985; dan Siddiqi, 1982). Aktivitas lain yang mendukung ekonomi yang berkeadilan tersebut adalah aktiviti sosial dalam masyarakat iaitu pengumpulan zakat, infaq dan shodaqoh serta pendistribusiannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.
            Aktivitas ekonomi Islam didasarkan kepada hukum-hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, apabila dilihat dari kerangka dasar agama Islam bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi manusia untuk menjalani kehidupan di dunia ini dengan melaksanakan kaidah ‘ubudiyah dan kaidah mu’amalah sesuai dengan Hukum Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.(QS: Surat 51 ayat 56; QS: Surat 2, ayat 30 dan 185)[*]. Ada dua istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan Hukum Islam iaitu (H.M.Daud Ali, 1983):
1.      Syariat, iaitu segala sesuatu ketentuan hukum yang disebut langsung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
  1. Fikih, iaitu segala sesuatu ketentuan hukum yang dihasilkan oleh Ijtihad para Fukaha (ahli fikih)
Keduanya berhubungan erat satu sama lain. Dasar-dasar hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi yang merupakan syariat, dirumuskan pemahamannya oleh para ahli fikih dan dituangkan ke dalam kitab-kitab fikih yang kemudian disebut sebagai hukum fikih. Jadi sumber hukum Islam meliputi Al-Qur’an dan Hadits Nabi (sumber syariat). Sedangkan dalam arti materiil, meliputi Al-Qur’an, Sunah Rasul dan Ijtihad[†]. Dalam bentuk praktisnya hasil ijtihad adalah: buku (kitab hukum), peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan (jurisprudensi) dan konsensus (Ijma’) Ulama. Pada proses penerapan hukum Islam ini diperlukan cara pendekatan, antara lain dengan melalui peraturan perundang-undangan, peradilan (yudikatif), sosial maupun perilaku.

Hukum Perikatan Islam adalah bagian dari hukum Islam yang mengatur perilaku manusia di dalam menjalankan hubungan ekonomi dan perdagangan. Pembahasan tentang perikatan sangat berhubungan dengan transaksi yang berhubungan dengan kebendaan atau harta kekayaan (QS.Surat (4): 29; QS.Surat (2):198, 275 dan 282; QS.Surat (73): 20)[‡] . Hukum Perikatan Islam merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ar-Ra’yu (Ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi (M.Tahir Azhary, 1998).
Hukum Perikatan Islam sebagai bagian dari Hukum Islam di bidang Mu’amalah, memiliki sifat “terbuka” yang bererti segala sesuatu dibidang mu’amalah boleh diadakan modifikasi selama tidak bertentangan atau melanggar larangan yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad SAW. Inilah yang memungkinkan Hukum Perikatan Islam dapat mengikuti perkembangan zamannya serta keadaan yang berlaku dalam praktek mu’amalah.
Perikatan (akad) sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta dalam hukum Islam merupakan cara yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang diridhoi Allah SWT dan harus ditegakkan isinya serta dipenuhi semua perjanjian yang terkandung dalam perikatan tersebut. Kata “akad” berasal dari bahasa Arab al-Aqdun dalam bentuk jamak disebut Al-‘Uquud yang berarti ikatan atau simpul tali. Pengertian “Akad” secara terminologi hukum Fikih adalah: “Perikatan antara ijab (penawaran) dengan kabul (penerimaan) secara yang dibenarkan syara’ (hukum Islam), yang menetapkan keridhaan (kerelaan) kedua belah pihak” (T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, 1984). Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian akad tidak hanya sekedar kontrak antara dua pihak yang bertransaksi, namun ada keterkaitan dengan ketentuan hukum Islam, sehingga setiap pelanggaran terhadap akad berarti pelanggaran kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam (Syariat Islam).
            Sebagai suatu gambaran dari akad, kontrak pinjam meminjam tidak dilarang bahkan dianjurkan agar terjadi hubungan saling menguntungkan, yang selanjutnya menjadi hubungan persaudaraan. Banyak metode yang diajarkan oleh syari’ah selain pinjam meminjam, seperti jual beli, sewa, bagi hasil, dan sebagainya. Pinjam meminjam termasuk dalam akad tabarru’ (semi sosial), bukan akad tijaroh (komersial), artinya bila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak boleh disyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok pinjamannya. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw. Yang mengatakan bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba, sedangkan riba itu haram.“Tiap-tiap piutang yang  mengambil manfaat adalah salah satu macam dari beberapa macam riba” (HR. Baihaqi).
            Dalam hal uang yang dipinjamkan untuk keperluan-keperluan komersial, maka pemberi pinjaman mempunyai dua jalan. Pertama mengeluarkannya sebagai qardh, biasanya pinjaman ini untuk keperluan konsumsi. Pengeluaran qardh untuk memenuhi kewajiban moral dan tidak ada balasan keuangan yang dapat diambil. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa qardh dipandang sah pada harta mitsil (harta yang dapat ditakar, harta yang dapat ditimbang, harta yang dapat dihitung, dan harta yang dapat dijual dengan meter), sedang menurut Jumhur Ulama membolehkan qardh pada setiap benda yang dapat diperjualbelikan kecuali manusia. Jumhur Ulama pun melarang penangguhan pembayaran qardh sampai waktu tertentu sebab dikhawatirkan akan menjadi riba nasi’ah. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan bahwa qardh adalah derma, muqrid (orang yang membayar) berhak meminta penggantinya waktu itu. (Rahmat Syafei, 2001).
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas yang mengatakan: Usamah bin Zaid memberitahukan bahawa Nabi Muhammad saw bersabda: “Riba itu sesungguhnya pada an nasiah (penangguhan pembayaran).

            Sehingga dapat disimpulkan qardh dibolehkan dengan dua syarat: (i) tidak menjurus pada suatu manfaat, (ii) tidak bercampur dengan akad lain seperti jual beli. Kedua, mengeluarkan pinjaman untuk menjadi seorang mitra (Partner) penyandang dana dalam suatu kontrak tertentu yang siap menanggung keuntungan dan kerugian. Hal ini berhubungan dengan teori petukaran dan teori percampuran. Pada teori pertukaran kontrak-kontrak yang berhubungan antara lain seperti jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, dan sebagainya. Pada teori percampuran, kontrak-kontrak yang berhubungant adalah kontrak investasi. Akan tetapi kedua teori tersebut objeknya sama iaitu (i) ‘ayn (real asset) berupa barang dan jasa, (ii) dayn (financial asset) berupa uang dan saham. Pada teori pertukaran berlaku (Adiwarman Karim, 2004):

                      Waktu
Objek

Now for Now

Now for Deferred

Deferred for deferred
 ‘Ayn for ‘ayn
Halal
Halal
Haram
‘Ayn for dayn
Halal
Halal
Haram
Dayn for dayn
Haram kecuali Sharf
Haram
Haram

Bila ‘ayn for ‘ayn transaksi yang terjadi adalah dengan syarat sama jumlah, sama mutu dan sama waktu penyerahan. ‘Ayn for dayn transaksi yang terjadi seperti jual beli, sewa menyewa dan ijarah. Sedangkan pada dayn for dayn terbagi dua. Bila sejenis maka syaratnya harus sama waktu penyerahannya sama kualitas dan mutu. Bila berbeza jenis atau yang kita kenal dengan sharf (pertukaran mata uang yang berbeda) maka syaratnya harus sama waktu penyerahannya. Pada teori percampuran berlaku:
                      Waktu
Objek

Now for Now

Now for Deferred

Deferred for deferred
 ‘Ayn with ‘ayn
Halal
Haram
Haram
‘Ayn with dayn
Halal
Haram
Haram
Dayn with  dayn
Haram
Haram
Haram

            Bila ‘ayn with ‘ayn digunakan  pada syirkah abdan, iaitu keahlian masing-masing yang berserikat digabungkan. Bila ‘ayn  with dayn digunakan untuk (i) syirkah mudharabah iaitu penggabungan real asset (jasa atau keahlian) dengan dana, (ii) syirkah wujuh iaitu penggabungan real asset (barang) dengan reputasi atau nama baik. Sedangkan transaksi dayn with dayn digunakan pada (i) syirkah inan bila dana yang diserahkan besarnya berbeda, (ii) syirkah mufawadhah bila dana yang diserahkan besarnya sama. Dayn pada transaksi dayn with dayn di teori percampuran, maka dayn tersebut harus merupakan bukti kepemilikan atas ‘ayn (real asset) perusahaan tertentu.
            Karena itu sebagai institusi komersial yang mengharapkan keuntungan, kalau dalam perbankan konvensional pinjaman disebut kredit, maka pada perbankan syari’ah disebut pembiayaan (financing), yang karakteristiknya jauh berbeda dengan perbankan konvensional. Disamping itu perbankan syari’ah juga dapat melakukan transaksi riil seperti jual beli, ijaroh dan lain sebagainya.


Pengauditan Syariah pada Perbankan Syari’ah

            Profesionalisme organisasi keuangan Islam merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan organisasi keuangan Islam, profesionalisme organisasi boleh dilihat dan diukur dengan prestasi (performance) keuangan dari organisasi keuangan Islam tersebut melalui laporan tahunan yang meliputi posisi keuangannya, hasil operasionalnya dan hasil yang telah dicapai oleh suatu organisasi. Di dalam laporan tahunan organisasi keuangan Islam akan menunjukkan adanya  nilai-nilai Islam yang terkandung di dalamnya serta memperjelas posisi keuangan dan hasil operasinya kepada stakeholder. Pengungkapan secara penuh (full disclosure) terhadap laporan tahunan menjadi suatu kebutuhan bagi organisasi keuangan Islam untuk menunjukkan bahwa organisasi keuangan tersebut memiliki prestasi (performance) yang baik dan bisa untuk pengambilan keputusan.
            Pengauditan syariah pada perbankan syariah, disamping pertanggungjawaban pengelolaan dana pihak ketiga kepada pihak-pihak yang berkepentingan (masyarakat, penabung, investor, pemerintah, dll), juga bertanggungjawab kepada Allah SWT atas aktivitas mu’amalah yang dilakukannya. Sehingga pelaporan keuangan yang disajikan mestilah sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku yaitu PSAK No.59 tentang standar akuntansi untuk perbankan syariah, dan juga terpenuhinya aspek kepatuhan pada syariah, sebagai garis panduan yaitu digunakannya fatwa Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia.                                      
            Ada beberapa karakteristik yang mendasari sistem perbankan syariah iaitu: uang merupakan alat tukar dan bukan merupakan komoditi yang dapat diperjualbelikan, tidak dikenal adanya konsep value of money, tidak diperkenankan kegiatan yang bersifat spekulatif karena adanya ketidakpastian, tidak diperkenankan dua transaksi untuk satu barang, tidak diperkenankan dua harga satu barang (IAI, 2003). Sedangkan fungsi dari bank syariah adalah sebagai manajer investasi yang dapat mengelola Investasi atas dana nasabah, investor yang dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai syariah dan membagi keuntungan atau kerugian yang diperoleh secara proporsional sesuai nisbah yang disepakati antara bank dan pemilik dana (Ali Abdallah Shahein, 2001; Al-Hitee Abdil Razaq, 1998)), sebagai penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, sebagai pelaksana kegiatan sosial yang memberikan pelayanan sosial dalam bentuk pengelolaan dana zakat, infaq, shadaqoh, dan penyaluran dana qardhul hasan.
Dengan beberapa karakteristik tersebut kemudian dijabarkan dalam aplikasi operasi perbankan syariah kepada prinsip-prinsip penghimpunan dana meliputi: dana modal iaitu dana dari pendiri bank dan dari para pemegang saham bank tersebut, dana titipan masyarakat yang dikelola dengan sistem wadi’ah, dan dana yang diinvestasikan melalui bank dalam bentuk dana investasi khusus (Mudharabah Muqayyadah) atau investasi terbatas ( Mudharabah Mutlaqoh) (Al-Qardawi Yousof, 1405 H), serta dana zakat, infaq dan shadaqoh.
Sedangkan dalam penyaluran dana, bank syariah melakukan berbagai investasi atau pembiayaan dengan prinsip musyarakah dan atau mudharabah, jual beli dengan prinsip murabahah, salam, dan atau istishna, sewa-menyewa dengan prinsip ijaroh dan atau ijaroh muntahiya bittamlik atau prinsip lain yang sesuai dengan syariah. (IAI, 2003).


Peranan Dewan Syari’ah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

            Dewan Syari’ah Nasional memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan perbankan syari’ah, kerana institusi ini memiliki otoritas dibidang kesyari’ahan yang dapat mendukung terwujudnya sistem perbankan yang sehat serta konsisten melaksanakan prinsip syari’ah dalam aktiviti mu’amalahnya. Dewan Pengawas Syariah juga berperan memberikan jaminan kekhalalan serta kesesuaian dengan prinsip syariah atas operasional perbankan syariah, sehingga dapat memberikan keyakinan sekaligus membangun kepercayaan masyarakat atas keberadaan bank syariah yang kaffah.
            Peran Dewan Syariah Nasional sangat strategis bagi pengembangan perbankan syariah nasional, oleh kerana itu Bank Indonesia bersama Dewan Syariah Nasional melakukan kerjasama sinergis untuk meningkatkan koordinasi antara institusi yang berhubungan dengan peraturan perbankan syariah. Secara teknis bentuk kerjasama yang dilakukan adalah pertemuan koordinatif berkala yang berhubungan dengan perumusan fatwa produk dan transaksi pada perbankan syariah (Bank Indonesia, 2005).
            Pertemuan koordinatif dan konsolidatif dilakukan antara bank Indonesia dengan Dewan Syariah Nasional agar dapat memperoleh input dan pandangan mengenai aspek-aspek teknis perbankan syariah dan isu kehati-hatian yang berhubungan dengan produk dan  transaksi yang sedang dirumuskan fatwanya, sehingga dapat diimplementasikan pada industri perbankan syariah, oleh karena telah memenuhi aspek syariah maupun aspek teknis dan kehati-hatian perbankan syariah.

Peranan IAI (Ikatan Akuntan Indonesia)
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) merupakan elemen penting dalam pengembangan perbankan syari’ah di Indonesia. Keberadaan stadar akuntansi dan audit bagi industri perbankan syari’ah, tidak saja penting bagi operasional perbankan syariah, namun yang lebih krusial adalah keberadaannya yang mengakomodasikan perbezaan esensial operasional perbankan syariah. Adanya standar akuntansi dan audit yang sesuai dengan esensi transaksi syariah, pada masanya akan memudahkan perbankan syariah menjalankan operasional sesuai dengan nilai dan prinsip syariah.

            Beberapa kerjasama penyusunan standard dan pedoman akuntansi untuk industri perbankan syariah iaitu:
  1. Penyelesaian Panduan Audit Perbankan Syariah yang dimulai tahun 2004.
  2. Revisi Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.59, dimana pada akhir tahun 2005 telah diselesaikan draft finalnya. Dalam tahun 2006 direncanakan materi revisi PSAK No.59 yang akan dibahas oleh Dewan Standar Akuntansi (DSAK)
  3. Revisi Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI), yang pada akhir tahun 2005 telah diselesaikan draft finalnya.
            Disamping itu pada bulan Oktober 2005 telah dibentuk Komite Akuntansi Syariah yang terdiri dari 11 orang dari para pakar, praktisi serta Dewan Syariah Nasional (DSN), dimana 2 anggota diantaranya merupakan perwakilan dari Bank Indonesia. Fungsi dari komite ini adalah untuk membantu Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dalam memahami konsep standar akuntansi dan keuangan syariah.

Peranan AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial Institution).
            Akuntansi untuk organisasi bisnis Islam diawali secara resmi dengan adanya Akuntansi dan Auditng untuk Institusi Kewangan Islam (AAOIFI). Institusi ini telah mempersoalkan banyak standar akuntansi dan auditing yang pada awalnya diperlukan oleh institusi keuangan Islam yang merupakan anggota dari organisasi ini (Pomeranz, 1997). Dalam perkembangannya, permasalahan standar dari AAOIFI telah menjadi sumber referansi bagi institusi keuangan Islam lainnya dalam melaporkan laporan keuangannya.
Dalam laporan akuntansi keuangan (SFA) no.1. tujuan dari akuntansi keangan untuk bank Islam dan institusi keuangan adalah menyajikan laporan keuangan yang memiliki ciri-ciri khusus sebagai institusi keuangan Islam iaitu:
  1. Laporan analisis keuangan mengenai sumber dana zakat dan pemakaiannya.
  2. Laporan analisis keuangan mengenai pendapatan dan pengeluaran yang dilarang secara syariah.
  3. Laporan mengenahi pemenuhan Bank Islam kepada tanggung jawab sosial kepada lingkungannya.
  4. Laporan mengenahi perkembangan dari sumber daya manusia pada Bank Islam.
Laporan yang diusulkan oleh AAOIFI tersebut menunjukkan bahawa organisasi bisnis Islam sangat penting untuk menunjukkan persoalan syariah dan persoalan tanggungjawab sosial kepada lingkungannya. AAOIFI merupakan organisasi internasional yang bersifat sebagai self-regulating agency dan memiliki fungsi mengembangkan standar akuntansi, audit, governance termasuk standar akad syariah untuk seluruh institusi yang menyediakan jasa keuangan syariah. AAOIFI secara umum memberikan panduan standar akuntansi, audit dan governance yang tidak dicakup oleh institusi serupa iaitu International Accounting Standard (IAS), oleh karena adanya perbedaan yang prinsip dari akuntansi, audit dan governance dalam aktiviti keuangan syariah berbanding dengan keuangan konvensional.
Dalam upaya untuk menciptakan keseragaman penerapan akuntansi keuangan syariah oleh seluruh bank syariah di Indonesia serta memberikan dasar dalam penetapan standar kehati-hatian serta pengawasan perbankan syariah sejak tahun 2001, Bank Indonesia bekerjasama dengan IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) melakukan penyusunan Pedoman Standar Akuntansi Kewangan (PSAK) No. 59 tentang akuntansi perbankan Syariah. PSAK No.59 pada prinsipnya mengadopsi dan melakukan penyesuaian standar akuntansi AAOIFI dengan berbagai ketentuan akuntansi dan peraturan perbankan yang berlaku di Indonesia. Selanjutnya PSAK No.59 dikembangkan menjadi Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPSI) yang ditetapkan berlaku sebagai pedoman bagi seluruh Bank Syariah di Indonesia dengan Surar Edaran No. 5/ 26/ BPS tanggal 27 Oktober 2003.

Peranan IFSB (Islamic Financial Service Board)
Fungsi IFSB dalam perkembangan perbankan syariah iaitu dalam harmonisasai regulasi dan pengawasan perbankan syariah serta menetapkan panduan best practices operasional perbankan syariah. Organisasi ini didirikan pada 3 November 2002 dengan kantor pusat di Kuala Lumpur. Negara-negara pendiri IFSB adalah Bahrain, Indonesia, Iran, Kuwait, Malaysia, Pakistan, Saudi Arabia, Sudan dan IDB.
            Keberadaan IFSB merupakan kesan dari perkembangan industri keuangan perbankan syariah yang tumbuh dengan cepat pada berbagai kawasan dan telah menjadi aktivitas keuangan global yang memerlukan harmonisasi pengaturan dan standarisasi berbagai aspek aktivitasnya. Oleh kerana itu fokus aktivitas IFSB yang diposisikan sebagai institusi standar setting internasional di bidang pengaturan dan pengawasan keuangan syariah terutama adalah melakukan penyusunan standar kehati-hatian dan transparansi bagi institusi keuangan syariah internasional yang mencakup perbankan, pasar modal dan asuransi syariah.



Share this article :
 
Support : HARDI SUSANDI | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. dMaster eKonomi isLam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by hardisusandi.com
>