Menawarkan dua cara
pembayaran, kontan dan kredit, dengan dua harga yang berbeda telah menjadi
kelaziman. Misalnya, penjual mengatakan, “notebook ini kalau cash Rp.5 juta,
kalau dicicil selama lima bulan Rp. 5,5 juta”. Apakah penawaran seperti ini
dibolehkan?
Hukum Jual-beli Kredit
Para ulama menyebut
praktek di atas dengan istilah bai’ut taqsith (jual-beli kredit) dengan
tambahan harga. Menurut pendapat yang kuat –wallahu a’lam- hukumnya adalah
boleh, syaratnya: harga, jumlah angsuran serta besaran tiap angsuran harus
ditentukan sebelum berpisah; dan barang harus ada saat akad[1]. Dalilnya adalah
keumuman hukum jual-beli. Allah berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah menghalalkan
jual beli” (TQS Al Baqarah 275)
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang
beriman janganlah memakan harta sesama kalian secara batil kecuali dengan
perniagaan atas dasar kerelaan di antara kalian” (TQS An Nisa’ 29).
Atas dasar itu, jika
semua pihak rela dengan salah satu tawaran, maka itu merupakan jual-beli yang
dibolehkan syara’ karena hukum asal jual-beli adalah boleh. Asy Syafi’i
mengatakan, “Pada prinsipnya semua jenis jual-beli itu boleh asalkan dengan
kerelaan kedua belah pihak yang bertransaksi … kecuali jual-beli yang dilarang
oleh rasululllah saw.”[2]
Perbedaan pendapat
tentang jual-beli kredit
Memang terdapat
perselisihan dalam hal ini. Kami akan sedikit menguraikannya demi menghilangkan
keraguan. Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah membolehkan praktek
tersebut, sedangkan sebagian Zaidiyah dan Dhohiriyah mengharamkannya[3]. Ulama
kontemporer yang membolehkannya antara lain An-Nabhani[4], al-Qardhawi[5], Ali
Salus[6], Wahbah Az-Zuhaili[7] dan Ibnu ‘Utsaimin[8]. Sementara Abu Zahroh[9],
Al Albani[10] dan Muqbil[11] mengharamkannya.
Argumen Yang
Mengharamkan jua-beli kredit dengan harga lebih tinggi
Mereka yang
mengharamkannya berpegang pada hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw
bersabda:
مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ
فِى بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا
“Barang siapa melakukan
dua jual-beli dalam satu jual-beli maka harus memilih (harga) yang terendah
jika tidak maka riba” (HR Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, Al-Hakim, Ibnu Hibban
dan Al-Baihaqi)
Mereka menafsirkan “dua
jual-beli dalam satu jual-beli” sesuai perkataan salah satu perawi, Simak:
“seseorang berkata: jika tunai harganya sekian namun jika dengan tempo maka
harganya sekian” [12]. Jadi, yang dimaksud dua jual-beli menurut kelompok ini
adalah menawarkan dua harga untuk satu barang karena sistem pembayaran yang
berbeda, kontan dan kredit.
Sanggahan
Benar, hampir semua
ulama sepakat apabila penjual berkata, “jika kau bayar tunai maka 10 dirham
tapi jika dicicil maka 15 dirham” kemudian kedua pihak sepakat dan berpisah
tanpa menjatuhkan pilihan pada salah satu opsi, maka tidak sah. Alasannya
menurut Asy-Syaukani karena, “tidak adanya kejelasan harga”[13], yakni apakah
10 atau 15 dirham. Maka, mayoritas ulama membolehkan dua bentuk penawaran
dengan dua harga yang berbeda asalkan penjual dan pembeli menjatuhkan akad pada
salah satu tawaran sebelum berpisah.
Terkait penafsiran
Simak sebelumnya, Ibnul Qoyim berkomentar: “itu sangat tidak sesuai dengan
makna hadits, ditinjau dari dua segi: pertama, sesungguhnya akad ini bukan
riba; kedua, penawaran tersebut bukanlah dua jual-beli, akan tetapi hanya satu
jual-beli dengan satu harga. (Padahal dalam hadits) Pilihannya hanya berkisar
pada dua hal: mengambil harga termurah atau riba. Sementara, dalam akad
tersebut, sekalipun diambil harga yang lebih mahal, tidaklah terjadi riba,
sehingga praktek ini tidak relevan dengan makna hadits”[14].
At-Tirmidzi menyatakan,
“Sebagian ulama berpendapat dua jual-beli dalam satu jual-beli terjadi pada
perkataan: “aku jual baju ini 10 dirham secara kontan dan 20 secara kredit”
lalu berpisah tanpa memilih satu dari keduanya. Adapun jika berpisah dengan
memilih satu dari dua pilihan tersebut maka tidak mengapa, yang penting akadnya
jatuh pada salah satunya”[15]
Al-Khothobi
berkomentar: “praktek ini tidak boleh karena tidak diketahui mana harga yang
dijatuhi akad, padahal apabila harganya tidak diketahui batal-lah jual-belinya”.
Beliau melanjutkan: “adapun jika dipilih salah satu dari kedua pilihan tersebut
saat transaksi, maka sah”[16]. Thowus berkata: “tidak mengapa jika dikatakan:
“baju ini harganya 10 tunai, jika ditunda selama satu bulan maka 15””.
Al-Auza’i berkata: “itu tidak apa-apa namun dilarang berpisah sebelum
menyepakati salah satu dari dua opsi tersebut”[17].
Penafsiran hadits yang
tepat
Para ulama menafsirkan
hadits Abu Hurairah di atas dengan berbagai bentuk. Yang paling cocok dengan
hadits ini adalah penafsiran Thowus,: “barang itu seharga sekian dan sekian
jika temponya sampai sekian dan sekian; dan harganya menjadi sekian dan sekian
jika dibayar tempo sampai waktu sekian dan sekian, kemudian transaksi jadi
dengan ketentuan itu, maka yang berlaku adalah harga termurah dengan tempo
paling lama”[18]. Artinya, tidak boleh mengakadkan jual-beli kredit dengan
lebih dari satu opsi tempo dan harga tanpa kejelasan opsi harga dan tempo mana
yang disepakati saat akad. Inilah yang dimaksud dua jual beli dalam satu jual-beli
dalam konteks hadits ini. Jika praktek itu terlanjur terjadi maka yang berlaku
adalah tawaran harga terendah, jika tidak maka riba. Dan Thowus menambahkan
bahwa yang berlaku adalah tempo terlama.
Demikianlah, hadits
dari Abu Hurairah tersebut tidak menyinggung jual-beli kredit dengan panambahan
harga, sebab tawaran kontan dan kredit itu belumlah merupakan jual-beli,
sehingga apabila disepakati salah satu opsi pada saat akad maka ia tidak
terkena larangan dalam hadits tersebut. Wallahu a’lam (Ust. Titok Priastomo)