Selamat datang di Hardi Susandi.Com

EKONOMI ISLAM SEBAGAI SISTEM EKONOMI ALTERNATIF

Monday, May 10, 20100 komentar

Oleh: Dwi Condro Triono


I.PENDAHULUAN
Indonesia merdeka sudah lebih dari 60 tahun. Namun kondisi ekonominya belum banyak bergeser dari posisi sebagaimana ketika masih berada di alam penjajahan. Hal itu telah ditegaskan oleh Prof. Mubyarto (2005) dalam bukunya yang berjudul “Ekonomi Terjajah”. Menurut beliau, setelah 60 tahun merdeka kondisi perekonomian rakyat Indonesia tidak banyak mengalami perubahan. Bahkan, jika dibandingkan dengan pada masa penjajahan Belanda, secara relatif, PDB per kapita Indonesia cenderung merosot. Pada 1820, PDB per kapita Indonesia terhadap Belanda meliputi 39 persen. Pada 1950 merosot menjadi 15 persen. Pada 1992, setelah 47 merdeka, hanya meningkat sedikit menjadi 16 persen.
Mubyarto melihat bahwa terjajahnya kembali ekonomi Indonesia melalui apa yang disebut sebagai penghisapan ekonomi. Pengihasapan ekonomi tersebut terjadi begitu sangat tinggi, sehingga menciptakan ketidakadilan sosial. Penghisapan tersebut menyebabkan Indonesia tidak akan mungkin menciptakan keadilan sosial melalui strategi pembangunan.
Fenomena penjajahan ekonomi oleh Negara adidaya seperti Amerika Serikat (yang diistilahkan oleh Mubyarto sebagai “The Global Empire”) saat ini sudah tidak menggunakan cara-cara tradisionil dan kuno lagi. Melainkan dengan cara yang sangat canggih dan modern. Proses penjajahan saat ini kemudian lebih kita kenal sebgai “hegemoni kapitalisme global”. Proses hegemoni tersebut sesungguhnya tidak hanya menimpa Indonesia saja, melainkan sudah melanda di hampir seluruh negara di dunia ini, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang.
Untuk dapat memahami dan menghadapi fenomena di atas, dalam makalah ini penulis ingin memberikan dua
hal penting yang harus dilakukan. Pertama, kita harus dapat menunjukkan apa sesungguhnya yang menjadi akar permasalahan, sehingga keadaan ekonomi dapat menjadi seperti ini. Apakah benar, bahwa semua tragedi ekonomi ini memang bersumber dari “ajaran” ekonomi kapitalisme? Kedua, jika memang benar, maka kita harus memiliki strategi khusus untuk dapat membendung kapitalisme global tersebut, sekaligus dapat menghadirkan ekonomi alternatif yang dapat menjadi penggantinya.

II. KEMUNCULAN EKONOMI KAPITALISME
Tahun 1776, ketika buku Adam Smith yang berjudul “The Wealth of Nations” terbit, dunia menyambutnya dengan gegap gempita. Dengan kekuatan logika-logika ekonominya, Smith mampu meyakinkan dunia, bahwa tidak akan lama lagi tatanan ekonomi yang berkeadilan, yang akan menyejahterakan seluruh lapisan manusia akan segera terwujud. Si “tangan ajaib” (the invisible hands) akan mengatur semuanya. Dengan “tangan sakti” itu pula, ekonomi dijamin akan dapat tumbuh dengan sangat mengesankan. Yang penting menurut Smith, negara nggak usah repot. Negara tidak perlu ikut campur tangan dalam urusan ekonomi. Mekanisme pasar bebas akan dapat menyelesaikan semuanya (Deliarnov, 1997). Apakah ramuan Smith ini benar-benar mujarab?
Sejarah telah mencatat, apa yang diomongkan Smith memang bukan pepesan kosong. Ekonomi negara-negara Barat selama periode 150-an tahun telah mencatat pertumbuhan ekonomi dengan sangat pesat. Pertumbuhan ekonomi yang pesat tersebut juga diiringi dengan tingkat harga-harga yang bergerak relatif stabil (Boediono, 1999). Sebuah prestasi yang sangat menyilaukan. Ekonomi model ini kemudian dikenal dengan ekonomi liberalisme atau ekonomi kapitalisme. Apakah kondisi tersebut dapat berlangsung dan akan terus berlangsung?
Resep Smith dan para penerusnya ternyata harus berakhir dengan malapetaka besar. Tahun 1930-an ekonomi dunia mengalami depresi berat. Pertumbuhan ekonomi mandeg total. Pengangguran merajalela dimana-mana. Para pakar ekonomi ketika itu mengalami kebingungan yang luar biasa. Bagaimana mungkin bencana itu bisa terjadi?
Ternyata, dunia ekonomi tidak harus menunggu untuk bingung terlalu lama. John Maynard Keynes tampil sebagai “pembaharu ekonomi”. Dia mengupas habis kelemahan-kelemahan teori Smith dan para pengikutnya. Kemudian dia memberi satu resep yang cukup bertentangan dengan dogma sebelumnya, yaitu menyarankan agar negara turut campur secara langsung guna menyelamatkan keterpurukan ekonomi. Resep Keynes untuk memperbaiki ekonomi negara melalui kebijakan fiskalnya mulai menampakkan hasil. Akan tetapi, kemanjuran resep Keynes tidak bertahan lama (Deliarnov, 1997).
Seiring dengan maraknya pendukung-pendukung Keynes, pasca Perang Dunia Kedua, muncul kelompok yang idenya berseberangan dengan kelompoknya Keynes. Kelompok ini dikenal masih setia dengan ide-ide klasiknya Adam Smith. Mereka kemudian dijuluki sebagai kelompok Kanan Baru atau biasa disebut dengan neoliberalisme. Dalam usaha memenangkan pertarungan pemikirannya, kaum neoliberalisme terus-menerus melakukan penyerangan terhadap kebijakan-kebijakan yang bersandar pada Keynesian. Kelompok ini menyerang fondasi kebijakan Keynesian dengan mengambil momentum krisis ekonomi akibat inflasi yang tidak dapat diatasi oleh kebijakan Keynesian (Winarso, 2004).
Kaum neoliberalisme menyatakan, bahwa akibat terlalu banyaknya campur tangan negara, dunia terjebak dalam krisis yang berkepanjangan pada tahun 1970-an. Menurut mereka, peningkatan belanja publik Keynesian dianggap menciptakan terlalu banyak demand. Itulah yang menjadi penyebab timbulnya inflasi yang semakin meluas (Winarso, 2004).
Di level kebijakan, neoliberalisme mulai menunjukkan eksistensinya pada tahun 1979. Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher merupakan tokoh politik yang merevolusikan faham ini di Inggris. Untuk justifikasinya, ia menyerukan “There Is No Alernatif” (TINA). Sedangkan di Amerika, arsitek utamanya adalah Ronald Reagan (Budiantoro, 2005). Faham ini kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hasil kebijakan Thatcher dan Reagan memang membuahkan hasil. Kebijakannya mampu mengatasi krisis yang terjadi pada waktu itu, terutama dalam meningkatkan standar hidup, khususnya bagi AS dan Inggris.
Era pasca Reagan dan Thatcher, gagasan-gagasan neoliberal mulai merebak di lingkup lembaga-lebaga internasional. Melalui GATT/WTO, IMF dan Bank Dunia, faham neoliberal menjadi semakin dominan dalam usahanya menciptakan liberalisasi perdagangan dan investasi di seluruh dunia. Lembaga-lembaga ini menekankan arti pentingnya pasar bebas dunia dan berusaha memarginalkan peran negara dalam proses-proses ekonomi (Winarso, 2004).

III. JEJAK-JEJAK EKONOMI KAPITALISME DI INDONESIA
Jejak neolibralisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak Bulan Maret 1966. Orientasi pemerintahan Orba sangat bertolak belakang dengan era sebelumnya. Kebijakan Orba lebih berpihak kepada Barat dan menjahui ideologi komunis.
Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat, maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia, khususnya PMA dan hutang luar negeri mulai meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk Jepang untuk membeayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari sosialisme lebih ke arah semikapitalisme (Tambunan, 1998).
Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah kita, kita dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau telah ‘dipaksakan’ kepada negara kita. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah libelarisasi ekonomi, baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri maupun sektor perdagangan. Sektor swasta diharapkan berperan lebih besar karena pemerintah dianggap telah gagal dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi (baik yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam maupun hutang luar negeri) (Rachbini, 2001).
Pakto ’88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan libelarisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi Indonesia saat itu (Rachbini, 2001).
Masa pembangunan ekonomi Orde Baru-pun akhirnya berakhir. Puncak dari kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter, yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.
Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola sebelumnya. Bahkan semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju libelarisasi ekonomi. Hal itu paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator utama, yaitu (Triono, 2001):
1. Dihapuskannya berbagai subsidi dari pemerintah secara bertahap. Berarti, harga dari barang-barang strategis yang selama ini penentuannya ditetapkan oleh pemerintah, selanjutnya secara berangsur diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.
2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate). Sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, penentuan nilai kurs rupiah tidak boleh dipatok dengan kurs tetap (fix rate). Dengan kata lain, besarnya nilai kurs rupiah harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
3. Privatisasi BUMN. Salah satu ciri ekonomi yang liberal adalah semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk didalamnya adalah kepemilikan asset-asset produksi. Dengan “dijualnya” BUMN kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing, berarti perekonomian Indonesia semakin liberal.
4. Peran serta pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan perjanjian GATT. Dengan masuknya Indonesia dalam tata perdagangan dunia tersebut, semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk “kubangan” libelarisasi ekonomi dunia atau kapitalisme global.
IV. HEGEMONI KAPITALISME
Untuk menunjukkan keterkaitan ajaran kapitalisme dengan tragedi ekonomi yang saat ini berkembang, analisis yang pernah diajukan Karl Marx sesungguhnya sudah cukup ampuh untuk dapat memahami fenomena tersebut. Ada dua teori penting dari Karl Marx yang perlu kita fahami bersama (Deliarnov, 1997 & Koesters, 1987):
1. Surplus labor and value theory
Dalam membangun teorinya, Marx berangkat dari pandangan nilai (value) terhadap barang dan jasa menurut Adam Smith dan David Ricardo. Nilai suatu barang itu diukur dari seberapa banyak tenaga yang telah dikorbankan oleh pekerja untuk memproduksi barang tersebut. Selanjutnya Marx melihat bahwa dengan adanya perubahan pola produksi dari sistem yang primitif kepada sistem yang modern, maka akan muncul ketidakadilan dalam ekonomi.
 Pola produksi yang primitif:
1. Kepemilikan bersifat individual.
2. Produksi bersifat individual.
3. Penjualan bersifat individual.
4. Pembagian keuntungan bersifat individual.
 Pola produksi yang modern:
1. Kepemilikan bersifat individual.
2. Produksi bersifat kolektif.
3. Penjualan bersifat kolektif.
4. Pembagian keuntungan bersifat individual.
Dalam pola produksi modern, yang bekerja adalah buruh-buruh perusahaan. Majikan sebagai pemilik perusahaan, kenyataannya tidak pernah terlibat dalam proses produksi. Akan tetapi, majikanlah yang menikmati seluruh keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Sementara itu tenaga para buruh hanya dianggap sebagai bagian dari komponen biaya produksi. Sesuai dengan teori ekonomi kapitalisme, untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, maka salah satu metodenya adalah dengan menekan biaya produksi seminimum mungkin. Jika nilai barang itu diukur dari besarnya tenaga yang telah dikorbankan, maka sesungguhnya telah terjadi surplus nilai tenaga buruh yang telah diambil oleh majikannya. Dengan demikian, ekonomi kapitalisme adalah ekonomi yang sangat dzalim terhadap kaum buruh dan menjadi surga bagi para kapitalis.
2. The law of capital accumulations
Menurut Marx, dalam persaingan yang bebas, perusahaan yang besar akan senantiasa “memakan” perusahaan yang kecil. Oleh karena itu, jumlah majikan akan semakin berkurang, sebaliknya jumlah kaum buruh akan semakin banyak. Demikian juga, jumlah perusahaan yang besar juga akan semakin sedikit, namun akumulasi kapitalnya akan semakin besar. Jika jumlah buruh semakin banyak, maka akan berlaku hukum upah besi (the iron wages law). Dengan demikian, nasib kaum buruh akan semakin tertindas sedangkan para kapitalis akan semakin ganas dan serakah.
Analisis yang dikemukakan oleh Marx memang masih terlalu sederhana untuk ukuran perkembangan ekonomi kapitalisme saat ini. Sebab, perkembangan kapitalisme global di abad mutakhir ini sudah semakin canggih dan kompleks. Keserakahan kaum kapitalis tidak hanya sampai pada pemerasan kaum buruh dan pencaplokan pengusaha kelas teri, namun keserakahan mereka sudah menerobos dan menjarah di banyak sektor yang lain, bahkan dengan dukungan berbagai fasilitas dan lembaga yang mereka ciptakan sendiri. Berbagai sektor maupun lembaga yang mereka ciptakan tersebut diantaranya adalah (Triono, 2007):
1. Sektor keuangan
Kaum kapitalis tidak hanya ingin membesar, tetapi mereka juga ingin membesar dengan cepat. Caranya ialah dengan menciptakan lembaga perbankan. Fungsi utamanya adalah untuk mengeruk dana masyarakat dengan cepat, sehingga dapat segera mereka manfaatkan untuk menambah modal perusahaannya agar bisa menjadi cepat besar.
Ternyata keberadaan lembaga perbankan ini masih dianggap belum cukup, mereka terus mengembangkan kreatifitasnya. Akhirnya ditemukanlah ide untuk menciptakan sebuah pasar yang unik, yang selanjutnya mereka namakan sebagai pasar saham. Dengan adanya pasar ini, mereka dapat dengan mudah untuk melempar kertas-kertas sahamnya agar dibeli masyarakat, sehingga mereka segera mendapatkan gelontoran modal yang mampu untuk membuat perusahaan mereka menjadi cepat menggurita.
2. Sektor kepemilikan umum
Nafsu kapitalisme tidak akan pernah mengenal kata “cukup”. Mereka tidak pernah ingin berhenti. Mereka tidak hanya ingin berhenti untuk untuk bermain di wilayah pasar hilir saja, tetapi mereka terus merangsek untuk mencaplok sumber-sumber ekonomi di wilayah hulu. Dengan dalih kebebasan ekonomi dan kebebasan pasar, mereka juga ingin menguasai wilayah-wilayah ekonomi yang seharusnya menjadi milik umum yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Wilayah ekonomi yang ingin terus mereka kuasai tersebut misalnya adalah berbagai macam sektor pertambangan, sumber daya hutan, sumber daya air, minyak bumi, gas, jalan raya, pelabuhan, bandara dsb.
3. Sektor kepemilikan Negara
Jika mereka sudah banyak menguasai sektor kepemilikan umum, maka bagi kaum kapitalis tetaplah belum dianggap cukup. Mereka kemudian melirik kepada perusahaan-perusahaan yang banyak dimiliki oleh Negara. Dengan dalih demi efektivitas dan efisiensi perusahaan, mereka akan mendorong perusahaan milik Negara tersebut untuk go public, dengan jalan melego sahamnya ke pasar, dengan harga yang murah tentu saja.
4. Sektor kekuasaan
Menjadi besar dan cepat besar ternyata masih dianggap belum cukup. Mereka juga ingin memiliki rasa aman terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan mereka. Jaminan rasa aman hanya dapat diperoleh jika mereka bisa merambah ke wilayah kekuasaan. Sebab, di sektor inilah berbagai produk hukum akan dibuat. Jika mereka bisa memasuki sektor ini, maka mereka akan dengan mudah untuk dapat melahirkan berbagai produk hukum dan kebijakan yang dapat menguntungkan dan menjamin kelestarian kerajaan bisnis mereka.
Dalam politik demokrasi yang kapitalistik, untuk menjadi penguasa prasyarat yang paling menentukan hanya satu, yaitu harus memiliki dana yang besar untuk melakukan kampanye maupun untuk “membeli” suara rakyat. Hal itu hanya mungkin dilakukan oleh kaum kapitalis yang memang sudah berkubang dengan uang.
Cara yang mereka lakukan ada dua kemungkinan, yaitu dengan langsung mencalonkan diri untuk menjadi penguasa, atau cara yang kedua adalah dengan mendanai orang lain lain agar menang dalam pemilihan dan dapat menjadi penguasa. Mereka yang telah dicalonkan oleh kaum kapitalis, jika menang maka dia harus “menghambakan” diri kepada mereka yang telah mendanai bagi kemenangannya.
5. Sektor moneter
Apakah sepak terjang kaum kapitalis di atas sudah cukup? Ternyata masih tetap belum cukup. Nafsu serakah untuk terus-menerus melakukan penjarahan kekayaan di berbagai sektor dan ke berbagai negeri ternyata ingin terus mereka lakukan. Dengan apa? Ternyata mereka masih memiliki cara yang benar-benar canggih dan nyaris lepas dari logika akal sehat manusia. Mereka menciptakan sebuah mekanisme ekonomi yang dapat memperlicin seluruh sepak terjang mereka, yaitu dengan mewujudkan sebuah sistem mata moneter yang benar-benar menguntungkan mereka.
Sistem moneter yang mereka kembangkan adalah dengan menggunakan basis utama uang kertas. Dengan berbasiskan pada uang kertas, mereka akan mendapatkan tiga keuntungan sekaligus, yaitu; keuntungan dari seignorage, keuntungan dari suku bunga dan keuntungan dengan mempermainkan kurs bebas. Dengan model tree in one inilah mereka akan dapat memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat dengan tanpa harus banyak mengeluarkan banyak keringat.
6. Sektor pendidikan
Masih ada satu sektor lagi yang tidak boleh dilupakan, yaitu sektor pendidikan. Mengapa sektor ini harus terseret ke dalam lingkaran kapitalisme? Kepentingan mereka sangat jelas, yaitu kebutuhan untuk memperoleh tenaga kerja yang sangat professional, memiliki skill yang tinggi dan mau digaji dengan sangat murah.
Caranya adalah dengan “melemparkan” dunia pendidikan ke pasar bebas mereka. Peran Negara untuk mengurus pendidikan harus dikurangi, subsidi biaya pendidikan harus “dihabisi”, sehingga biaya pendidikan bisa menjadi mahal dan produk yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan tuntutan pasar. Model pendidikan seperti ini hanya mengasilkan manusia-manusia yang pragmatis, oportunis dan hanya bermental jongos. Sangat sulit dalam dunia pendidikan yang mahal dapat menghasilkan manusia-manusia yang idealis yang mau berfikir tentang jati dirinya maupun jati diri bangsanya.
V. MENUJU PERUBAHAN SISTEM EKONOMI
Sistem ekonomi Islam berangkat dari sebuah pandangan yang utuh dan menyeluruh berkaitan dengan keberadaan seluruh harta kekayaan yang ada di dunia ini. Ekonomi Islam ingin menjawab terlebih dahulu, siapa sesungguhnya pemilik hakiki dari semuanya itu? Jawaban dari pertanyaan ini sangat penting, mengingat sumber dari segala sumber malapetaka ekonomi selalu berasal dari problema ini.
Ekonomi Islam ternyata telah memberi jawaban dengan tegas, bahwa seluruh harta yang ada di dunia ini (bahkan seluruh alam semesta ini) sesungguhnya adalah milik Allah SWT. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT:

“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakannya kepadamu” (Q.S. An-Nuur: 33).
Dari ayat ini dipahami bahwa harta yang dikaruniakan Allah kepada manusia sesungguhnya merupakan harta yang berasal dari pemilik hakiki, yaitu Allah SWT. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana caranya agar manusia dapat memiliki harta yang merupakan milil Allah SWT tersebut? Jawabnya dapat dilihat dari dalil yang berkaitan dengan proses pemberian (penguasaan) kepemilikan itu kepada manusia. Firman Allah SWT:

“Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya” (Q.S. Al-Hadid: 7).
Penguasaan (istikhlaf) ini berlaku umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak kepemilikan, tetapi bukan kepemilikan yang sebenarnya. Oleh karena itu, bagi individu yang ingin memiliki harta tertentu, maka ekonomi Islam telah menjelaskan sebab-sebab pemilikan yang boleh (halal) dan yang tidak boleh (haram) melalui salah satu sebab kepemilikan. Ekonomi Islam telah menggariskan hukum-hukum perolehan individu, seperti: hukum bekerja, berburu, menghidupkan tanah yang mati, warisan, hibbah, wasiat dsb.
Selanjutnya, di dalam sistem ekonomi Islam diatur pula tentang pemilikan umum, yaitu pemilikan yang berlaku secara bersama bagi semua ummat. Hal itu didasarkan pada beberapa Hadits Nabi SAW, diantaranya adalah Hadits Imam Ahmad Bin Hanbal dan Abu Dawud yang diriwayatkan dari salah seorang Muhajirin, bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda:
«اَلنَّاسُ شُرَكَاءُ فِي الثّلاَثِ: فِي الْمَاءِ وَ الْكَلاَءِ وَ النّارِ»

“Manusia itu berserikat (punya andil) dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput, dan api (BBM, gas, listrik, dsb)”. (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Dari Hadits di atas kita dapat memahami bahwa ternyata di dalam ekonomi Islam ada beberapa harta kekayaan yang hanya boleh dimiliki secara bersama, yaitu kepemilikan umum. Dengan demikian, baik individu-individu maupun negara sekalipun tidak diperkenankan untuk memiliki dan menguasai harta tersebut.
Selain kepemilikan individu dan kepemilikan umum di atas, ternyata sistem ekonomi Islam juga mengatur tentang pemilikan negara. Contohnya adalah: setiap Muslim yang mati, sedang dia tidak memiliki ahli waris, maka hartanya adalah untuk Baitul Mal, yaitu milik negara. Demikian juga contoh yang lain adalah adanya pengaturan ekonomi Islam dalam masalah harta ghanimah, fa’i, kharaj, jizyah, rikaz dll, yang dalam porsi pembagiannya maupun peruntukannya adalah harus masuk dalam kas negara atau Baitul Mal.
Setelah harta itu dikuasai (dimiliki) oleh manusia secara sah, ekonomi Islam tidak membiarkan manusia secara bebas memanfaatkan harta tersebut. Ekonomi Islam telah marenjelaskan dan mengatur tentang pemanfaatan harta yang dibolehkan (halal) dan yang dilarang (haram). Ekonomi Islam telah mengatur bagaimana individu harus menggunakan harta (infaqul mal) tersebut. Ada bagian harta tersebut yang wajib diinfaqkan, seperti adanya kewajiban zakat dan nafkah. Ada yang sunnah, seperti shodaqah. Ada yang mubah, seperti untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari. Ada yang makruh, seperti untuk membeli kebutuhan yang sudah lebih dari tingkat kewajaran. Demikian juga, ekonomi Islam juga telah mengharamkan penggunaan harta tersebut untuk membeli minuman keras, daging babi, menyuap, menyogok, berfoya-foya dsb.
Selanjutnya sistem ekonomi Islam tidak hanya mengatur bagaimana cara memanfaatkan harta untuk keperluan konsumsi saja. Akan tetapi, ekonomi Islam juga memberi pengaturan kepada manusia bagaimana caranya mengembangkan harta yang telah dimikinya tersebut agar bertambah banyak, namun tetap dalam koridor Islam.
Oleh karena itu, ekonomi Islam juga mengatur dan menjelaskan tentang bagaimana cara untuk mengembangkan harta. Ekonomi Islam telah menjelaskan bagaimana pengembangan harta yang halal, dengan jalan seperti pengembangan produksi manufaktur (dengan adanya hukum-hukum industri), dalam bidang pertanian (dengan adanya hukum-hukum pertanian), pengembangan melalui jual beli, sewa-menyewa, syirkah, musaqat dsb.namun demikian, Ekonomi Islam juga mengatur pengembangan harta dengan jalan yang haram, seperti: menipu, membungakan (riba) dalam hal pinjam-meminjam maupun tukar-menukar, berjudi, kerja sama yang tidak sesuai prinsip syirkah Islam, menimbun dsb.
Adapun ketentuan sistem ekonomi Islam terhadap negara, dalam pandangan ekonomi Islam negara mempunyai tugas dan kewajiban yang sangat penting dan mulia. Posisi negara dalam pandangan ekonomi Islam sangat strategis dan sangat dominan bagi terwujudnya politik ekonomi Islam. Dalam politik ekonomi Islam, negara bertanggung jawab bagi terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok setiap individu manusia tanpa kecuali dengan memberi kemungkinan untuk memperoleh kebutuhan sekunder maupun tersiernya. Kebutuhan pokok tersebut meliputi kebutuhan pokok individu, seperti: sandang, pangan dan papan; maupun kebutuhan pokok masyarakat, seperti: pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Peran negara yang strategis tersebut sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diamalkan Nabi SAW ketika beliau menjabat sebagai kepala negara. Menurut Nabi SAW, bahwa fungsi negara atau penguasa (imam) adalah untuk melayani kepentingan ummat. Hal itu didasarkan pada Hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Umar yang mengatakan, Nabi SAW bersabda:
“Imam adalah (laksana) penggembala (pelayan). Dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya”.
Oleh karena itu, agar negara dapat melaksakan kewajibannya, maka ekonomi Islam telah memberi kekuasaan kepada negara untuk mengelola harta kepemilikan umum dan harta kepemilikan negara dan tidak mengijinkan bagi seorangpun (individu maupun swasta) untuk mengambil dan memanfaatkannya secara liar.
Kepemilikan umum seperti: minyak, tambang besi, emas, perak, tembaga, hutan harus dieksplorasi dan dikembangkan dalam rangka mewujudkan kemajuan taraf ekonomi rakyat. Distribusi kekayaan itu diserahkan sepenuhnya kepada kewenangan Imam (pemimpin negara) dengan melihat dari mana sumber pemasukannya (misalnya, harus dibedakan antara: zakat, jizyah, kharaj, pemilikan umum, ganimah, fa’i dsb). Ekonomi Islam juga telah memberikan ketentuan pengalokasiannya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Prinsip umum pendistribusian oleh negara, didasarkan pada firman Allah:

“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (Q.S. Al Hasyr: 7).
Maksud dari ayat di atas adalah agar peredaran harta tidak hanya terbatas pada orang-orang kaya saja di negara tersebut. Inilah yang menjadi pilar dari ekonomi Islam yang berkaitan dengan ketentuan bagi pendistribusian harta kekayaan di tengah-tengah manusia.
Dari seluruh uraian di atas, kita dapat memberikan satu rumusan besar bagi berdirinya Sistem Ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam dikembangkan mengikuti pilar-pilar pengaturan yang utama, yaitu harta kekayaan yang ada di dunia ini seharusnya dimiliki, dimanfaatkan, dan didistribusikan secara sah dengan mengikuti ketentuan atau aturan dari Allah SWT sebagai Zat pemilik hakiki dari harta kekayaan tersebut.
Kesimpulan dari uraian di atas, akan didapati dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah aturan-aturan yang sangat jelas, rinci dan tegas menyangkut boleh (halal) dan tidak boleh (haram) yang berkaitan dengan harta yang beredar di tengah manusia, yang dengan aturan itu Allah menjamin bahwa harta akan terdistribusi secara adil dan merata. Selanjutnya, secara lebih terperinci Sistem Ekonomi Islam dapat dirumuskan ke dalam tiga pilar utamanya, yaitu (An-Nabhani, 1990):
1. Kepemilikan (al-milkiyah), yang meliputi:
a. Kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah).
b. Kepemilikan umum (al milkiyah al-‘ammah).
c. Kepemilikan negara (al milkiyah ad-daulah).
2. Pemanfaatan kepemilikan (al-tasharruf fi al-milkiyah), yang meliputi:
a. Penggunaan harta (infaq al-maal), yaitu untuk keperluan konsumsi.
b. Pengembangan kepemilikan (tanmiyat al milkiyah), yaitu untuk keperluan produksi.
3. Distribusi harta kekayaan di tengah-tengah manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-naas), yang meliputi:
a. Distribusi secara ekonomis, yaitu melalui mekanisme pasar yang sesuai syari’ah.
b. Distribusi secara non ekonomis, yaitu melalui peran individu, masyarakat maupun negara.

Dari pilar-pilar Sistem Ekonomi Islam tersebut, kita dapat dengan mudah untuk membandingkannya dengan sistem ekonomi yang lain, baik sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. Sistem ekonomi Islam tidak membiarkan harta kekayaan yang ada di bumi ini “diperebutkan” secara bebas sebagaimana yang ada dalam ekonomi kapitalisme. Kita telah memahami, bahwa akibat adanya persaingan bebas dalam ekonomi kapitalisme (sebagaimana telah diuraikan sebelumnya), telah mengakibatkan pihak yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.
Demikian juga, sistem ekonomi Islam juga dapat dibedakan dengan sistem ekonomi sosialisme. Di dalam sistem ekonomi Islam, individu-individu tetap diberi ijin untuk memiliki harta kekayaan, sebanyak apapun, sepanjang harta itu diperoleh melalui jalan yang dihalalkan oleh Islam. Jika kepemilikan individu tidak diakui, maka akibatnya dapat dilihat seperti pada sistem ekonomi sosialisme, yaitu menyebabkan gairah kerja dan semangat berproduksi menjadi hilang. Itulah yang menjadi sebab mundur dan hancurnya ekonomi sosialisme.
Di sisi lain, keunggulan dari sistem ekonomi Islam sangat jelas dapat dilihat dari adanya ketentuan kepemilikan umum. Sumber-sumber daya alam yang besar seperti hutan, tambang, minyak, gas, batubara, listrik, air dsb. adalah termasuk dalam kategori kepemilikan umum, sehingga seluruh hasil dari sumber daya alam tersebut harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik hakiki dari harta tersebut.
Harta kepemilikan umum tersebut bukanlah milik negara, bukan milik individu, bukan milik swasta, apalagi milik swata asing sebagaimana fakta terjadinya “perampokan” dan “penjarahan” yang saat ini banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing dari negara maju kepada negara berkembang.

VI. POLITIK EKONOMI ISLAM
Setelah kita memahami secara utuh kerangka dari sistem ekonomi Islam melalui pilar-pilarnya, maka tibalah saatnya bagi kita untuk memahami bagaimana ekonomi Islam tersebut diaplikasikan secara faktual dalam kehidupan bermasyarkat dan bernegara melalui pembahasan politik ekonomi Islam.
Sebagaimana telah disinggung di atas, yang dimaksud dengan politik ekonomi Islam adalah adanya jaminan dari negara bagi tercukupinya kebutuhan primer bagi setiap individu-individu warga negaranya (tanpa kecuali) secara menyeluruh, berikut kemungkinan bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kesanggupannya di tengah-tengah masyarakatnya (An-Nabhani, 1990).
Di dalam sistem ekonomi Islam, bagaimana jaminan dari negara tersebut dapat diwujudkan sangat ditentukan oleh kemampuan negara dalam mengelola kebijakan (politik) ekonominya. Dengan menggunakan pendekatan teori ekonomi, kebijakan ekonomi yang harus dikendalikan oleh negara meliputi 2 hal pokok, yaitu: kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Sedangkan dalam ekonomi Islam masih ditambah dengan 2 hal penting lainnya, yaitu kebijakan ekonomi sektor riil dan kebijakan pengelolaan ekonomi yang amanah. Selanjutnya masing-masing kebijakan tersebut yang akan dibahas satu per satu.
1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam bertumpu kepada sumber-sumber penerimaan negara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syari’at melalui Baitul Mal. Baitul Mal adalah kas negara yang dikhususkan untuk pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslimin. Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya semuanya ditentukan oleh syari’at Islam, tidak mengikuti pendapat manusia (seperti melalui persetujuan DPR dan presiden sebagaimana pada penetapan APBN dalam sistem kapitalisme). Sektor-sektor pemasukan dan pengeluarannya Kas Baitul Mal, yaitu (Zallum, 2002):
1) Sektor Kepemilikan Individu
Pemasukan dari sektor kepemilikan individu iniberupa zakat, infaq dan shadaqah. Sektor pemasukan ini harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Untuk pengeluarannya, kepala negara harus mengkhususkan pamasukan dari zakat hanya boleh dikeluarkan untuk delapan pos pengeluaran sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an (At-Taubah: 60), yaitu: 1). Faqir, 2). Miskin, 3). Amil zakat, 4). Muallaf, 5) Memerdekakan budak, 6) Gharim (terlilit hutang), 7). Jihad fi sabilillah, 8). Ibnu sabil (yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Sedangkan infaq dan shodaqah pendistribusiannya diserahkan kepada ijtihad kepala negara, yang semuanya ditujukan untuk kemashlahatan ummat.
2) Sektor Kepemilikan Umum
Pemasukan dari sektor ini adalah dari bahan-bahan tambang, bahan bakar minyak, gas listrik, hasil hutan dsb. Pemasukan dari sektor ini juga harus masuk ke dalam kas yang khusus. Alokasi kepemilikan umum ini ada di tangan kepala negara dan dapat digunakan untuk kepentingan:
a) Beaya administrasi dan ekploitasi sumber daya alam, seperti: membangun zona industri, penggalian kepemilikan umum, mendirikan perumahan, menggaji pegawai, konsultan, tenaga ahli, membeli alat-alat dan mendirikan pabrik-pabrik.
b) Membagikan sumber daya alam secara langsung kepada masyarakat yang merupakan hak bagi pemilik sumber daya ini. Kepala negara boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan.
c) Sebagian dari kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk beaya jihad dan perlengkapannya, bekal pasukan perang dsb.

3) Sektor Kepemilikan Negara
Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10% dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi, harta orang murtad. Untuk pengeluarannya diserahkan pada pandangan dan ijtihad kepala negara untuk kepentingan negara dan kemashlahatan ummat.
Apabila sumber penerimaannya negara di atas sudah mencukupi, maka negara sudah tidak perlu memungut pajak (dharibah) lagi dari rakyatnya. Pemungutan pajak hanya dilakukan apabila anggaran negara dalam kondisi kosong atau defisit. Pemungutan pajak tersebut hanya bersifat sementara (temporal) dan hanya dibebankan terhadap warga negara yang mampu saja dan tidak boleh diambil dari warga negara yang miskin (Abdurrahman, 2005).
2. Kebijakan Moneter
Sistem ekonomi Islam juga menangani kebijakan moneter. Namun, sistem moneter dalam Islam berbeda dengan sistem moneter dalam ekonomi kapitalisme yang basisnya menggunakan uang kertas. Dalam sistem ekonomi Islam menggunakan basis emas dan perak, atau yang lebih dikenal dengan mata uang dinar dan dirham (Zallum, 2002).
Dengan demikian, mata uang dalam Islam diharapkan dapat menjadi mata uang yang kuat dan stabil. Tidak akan mudah terguncang oleh gejolak perubahan kurs sebagaimana yang terjadi pada mata uang kertas. Nilai nominal dari mata uang ini akan sama dengan nilai intrinsiknya. Mata uang ini tidak membutuhkan pengendalian moneter dari otoritas moneter manapun dan juga tidak perlu dijamin oleh bank sentral manapun, karena mata uang ini dapat menjamin dirinya sendiri sebagai barang yang berharga (Boediono, 1992).
Terlebih lagi jika mata uang ini digunakan untuk alat transaksi perdagangan internasional, maka mata uang ini akan memberi keadilan bagi segenap negara-negara yang terlibat di dalamnya. Semua barang dan jasa yang ditransaksikan akan dapat dinilai secara sama, dengan harga yang relatif stabil. Selain resiko spekulasinya nihil, ongkos usaha juga dapat dikurangi sebagai akibat batasan-batasan tertentu lenyap, yang selanjutnya akan dapat mendorong terjadinya peningkatan di bidang perdagangan, khususnya perdagangan luar negeri (Hamidi, 2003).
3. Kebijakan Ekonomi Sektor Riil
Ada kritikan dari para pengemban ekonomi kapitalisme yang ditujukan kepada upaya untuk mengembalikan mata uang dinar dan dirham ke dalam percaturan ekonomi dunia. Salah satu kritik yang senantiasa mereka lontarkan adalah, mata uang dinar dan dirham tidak akan mampu mencukupi kebutuhan transaksi-transaksi ekonomi yang saat ini nilainya sudah sangat tinggi. Jauh melampaui ketersediaan emas dan perak di muka bumi ini. Betulkah demikian?
Satu hal yang perlu diingat secara tegas saat ini adalah, kebutuhan trasaksi ekonomi yang sangat tinggi tersebut sesungguhnya hanya muncul dari ekonomi sektor non riil. Bukan dari ekonomi sektor riil. Kenyataan itu sesuai dengan pernyataan Prof. John Gray dari Oxford University yang mengatakan bahwa motif transaksi murni dalam pasar valas telah berubah menjadi perdagangan derivatif yang penuh dengan motif spekulasi. Hanya 5 % dari $ 1,2 triliun per hari transaksi keuangan yang berorientasi kepada sektor riil dan selebihnya (95%) adalah transaksi spekulatif yang tidak mendukung pertumbuhan sektor riil sama sekali (Karim, 2002).
Oleh karena itu, penerapan sistem mata uang dinar dan dirham harus dijaga oleh penerapan aturan syari’at yang lain, khususnya pengharaman aktifitas ekonomi di sektor non riil. Contohnya adalah: berbagai macam transaksi di lembaga perbankan konvensional, perdagangan saham di pasar saham, perdagangan mata uang asing di pasar valuta asing (pasar valas) dsb, yang kebanyakan transaksinya mengandung unsur riba dan atau perjudian (maysir). Dengan telah dihilangkannya aktivitas di sektor non riil tersebut, kekhawatiran akan kekurangan emas dan perak insya Allah akan mudah terjawab.
4. Kebijakan Pengelolaan Negara Yang Amanah
Sehebat apapun sebuah sistem, jika pengelolanya tidak amanah, maka sistem tersebut juga bisa bocor. Oleh karena itu sistem ekonomi Islam menghendaki agar pengelola negara benar-benar terdiri dari manusia-manusia yang amanah.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, untuk mendapatkan pengelola negara yang amanah tentu sangat sulit. Sikap amanah yang kuat, yang benar-benar menghujam dari lubuk hati yang paling dalam, hanya muncul dari buah keimanan yang kuat. Keimanan yang kuat inilah yang membuat manusia tersebut senantiasa ingin terikat dengan aturan-aturan Allah SWT.
Dalam kehidupan ekonomi kapitalisme yang bercorak sekularistik, buah keimanan (keterikatan terhadap syari’at Allah SWT) hanya terjadi tatkala orang tersebut melaksanakan aktivitas ibadah ritual. Sedangkan ketika harus mengelola negara, keterikatan terhadap syari’at akan menjadi lemah, bahkan menjadi tidak ada, karena itu adalah aktivitas di luar ibadah ritual. Inilah sumber utama terjadinya kebocoran-kebocoran negara yang merajalela pada saat ini.
Insya Allah, dalam negara yang semua sendi kehidupannya didasarkan pada Islam, maka keimanan seseorang akan berbuah pada segenap kehidupannya, termasuk ketika menjalankan aktivitas kenegaraannya. Diharapkan kontrol yang kuat dari keimanannya benar-benar akan berbuah pada perilaku yang amanah dalam mengelola dirinya maupun negaranya.

VII. PENUTUP
Apa yang telah diuraikan di atas sesungguhnya barulah tahap awal dari gagasan tentang sistem ekonomi Islam yang penulis ambil dari berbagai sumber rujukan. Sebuah sistem ekonomi yang diharapkan benar-benar dapat dibedakan dengan sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. Gagasan ini tentu tidak boleh berhenti sampai disini. Gagasan ini tentu membutuhkan perincian dan perluasan lebih lanjut. Demikian juga, gagasan ini tentu membutuhkan tanggapan, evaluasi, penilaian dari pakar-pakar ekonomi Islam secara positif dan konstruktif demi kemajuan dan kemuliaan Islam maupun kaum muslimin itu sendiri.
Namun demikian, ada satu hal yang patut diperhatikan oleh semua pihak, bahwa pemikiran Islam tetap harus dibedakan dengan produk pemikiran apapun buatan manusia. Pemikiran Islam tetap tidak boleh hanya berhenti kepada dataran wacana. Jika kita telah menyakini kebenaran pemikian Islam tersebut, maka tuntutan Islam hanya satu, yaitu: ajaran Islam tersebut harus diamalkan. Ajaran Islam tersebut harus segera diwujudkan dalam kehidupan yang nyata, sebagaimana firman Allah SWT:


“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu” (QS. Al Anfal:24).
Demikianlah sumbangsih pemikiran yang dapat diberikan oleh penulis, semoga ada manfaatnya bagi terjadinya perubahan ekonomi dunia pada saat ini. Dengan ekonomi Islam diharapkan dunia akan segera berubah menuju kepada perekonomian yang lebih baik, lebih memakmurkan, lebih barokah, lebih menyejahterakan, lebih berkeadilan dan yang paling penting adalah diridloi oleh Allah SWT. Wallahu a’lam bish showab.
Share this article :
 
Support : HARDI SUSANDI | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. dMaster eKonomi isLam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by hardisusandi.com
>