Selamat datang di Hardi Susandi.Com

kenaikan BBM

Wednesday, July 2, 20080 komentar

1
KENAIKAN HARGA BBM:
Pilihan Akhir yang Harus Didahului Reformasi Tata Niaga Minyak
Bumi dan Gas, Program Anti Kemiskinan yang Efektif, Renegosiasi
Utang dan Strategi Diversifikasi Energi

Oleh: hardi susandi

Akhir-akhir ini, menaikkan harga BBM seakan menjadi satu-satunya alternatif kebijakan
yang pantas dilakukan untuk menyelesaikan persoalan APBN. Opini tersebut terbentuk
akibat gencarnya kampanye bahwa kasus kelangkaan BBM, meningkatnya konsumsi
BBM, tingginya harga minyak dunia dan besarnya beban subsidi BBM hanya dapat
diselesaikan dengan menaikkan harga BBM.

Padahal dari pengalaman kenaikan harga BBM pada awal Maret lalu, yang tidak diikuti
oleh program anti-kemiskinan yang efektif, kebijakan tersebut jelas telah terbukti
berdampak sangat buruk bagi kesejahteraan rakyat. Beban rakyat terus meningkat karena
kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Jumlah rakyat miskin terus bertambah dan
bahkan di sejumlah daerah, rakyat menderita kekurangan gizi atau busung lapar sehingga
daya tahan tubuh rentan terhadap berbagai macam penyakit.

Karena dampak kebijakan yang sangat luas, adalah sebuah keharusan bagi pemerintah
untuk menempatkan kenaikan harga BBM sebagai pilihan terakhir, dan bukan sebaliknya,
malah menjadikannya sebagai pilihan utama. Apalagi sejumlah anggota Tim Ekonomi
Kabinet Indonesia Bersatu samasekali tidak memiliki legitimasi moral untuk mengambil
kebijakan tersebut, karena pada masa lalu telah menikmati subsidi triliunan rupiah dari
APBN. Sangatlah tidak adil, jika mereka yang telah dan masih menikmati subsidi dari
negara secara langsung maupun tidak langsung, sekarang justru harus mengambil
kebijakan yang akan membebani rakyat.
Sebagian anggota Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, terutama yang selama ini
dikenal pro-kreditor dan lembaga internasional, mengusulkan untuk tidak menaikkan
harga BBM, tetapi kembali meningkatkan utang. Alternatif ini menunjukkan tidak adanya
2

kreatifitas dan semakin meningkatkan ketergantungan Indonesia kepada lembaga
keuangan internasional.
Beban pemerintah bertambah akibat kenaikan harga minyak dunia?
Salah satu alasan untuk menaikkan harga BBM adalah bertambahnya beban anggaran
pemerintah akibat tingginya harga minyak dunia. Alasan tersebut tidak sepenuhnya
benar, karena faktanya neraca minyak bumi dan gas kita secara nasional masih surplus.
Indonesia tetap diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia yaitu dengan adanya

tambahan penerimaan dari sektor minyak bumi dan gas (lihat Tabel-1). Untuk neraca
pemerintah pusat, memang benar bahwa subsidi BBM mengalami peningkatan akibat
kenaikan harga minyak dunia. Tetapi peningkatan subsidi tersebut dapat tertutupi oleh
tambahan peningkatan penerimaan pada sektor minyak bumi dan gas yaitu dari
penerimaan PPh minyak bumi dan gas dan SDA minyak bumi dan gas. Dengan
kenaikan harga minyak dunia dari US$ 40 per barel menjadi US$ 60 per barel,
dengan asumsi nilai tukar Rp 9.300 per USD, misalnya, subsidi akan meningkat
sebesar Rp 70 triliun, dari Rp 59 triliun menjadi Rp 129 triliun. Akan tetapi di sisi
lain, penerimaan pemerintah dari sektor minyak bumi dan gas juga meningkat
sekitar Rp 84 triliun, dari Rp 129 triliun menjadi Rp 213 triliun, yang berarti masih
ada selisih antara tambahan penerimaan sektor minyak bumi dan gas dengan
tambahan pengeluaran subsidi BBM sekitar Rp 14 triliun.
Tabel-1. Pengaruh Harga Minyak dan Rupiah terhadap
Neraca Penerimaan dan Pengeluaran Sektor Minyak Bumi dan Gas (Rp triliun)
APBN-P
Kurs (Rp/USD) 8,900
Harga Minyak (USD per barrel) 35 40 45 60 65
Penerimaan Sektor Migas 103.5 129.1 150.0 212.7 233.6
PPh Migas 21.3 27.2 32.1 46.8 51.7
SDA Migas 82.2 101.9 117.9 165.9 181.9
Pengeluaran Sektor Migas 55.6 79.7 101.2 165.7 187.7
Subsidi BBM 39.8 59.0 76.5 129.0 147.0
Dana Bagi Hasil Migas 15.8 20.7 24.7 36.7 40.7
Penerimaan Sektor Migas
Dikurangi Subsidi BBM 63.7 70.1 73.5 83.7 86.6
Meningkat dengan
kenaikan harga minyak
dunia
Penerimaan Sektor Migas
Dikurangi Subsidi dan Dana
Bagi Hasil migas (Formula
Saat ini)
47.9 49.4 48.8 47.0 45.9
Menurun dengan
kenaikan harga minyak
dunia
Penerimaan Sektor Migas
Dikurangi Subsidi dan Dana
Bagi Hasil migas (Jika Dana
Bagi Hasil migas di-freeze =
Rp 15.8T )
47.9 54.3 57.7 67.9 70.8
Meningkat dengan
kenaikan harga minyak
dunia
Sumber: Skenario Tim Indonesia Bangkit
Keterangan 9,300
Skenario
3

Dari Tabel-1, terbukti bahwa pernyataan pemerintah akan semakin terbebani dengan
naiknya harga minyak mentah dunia, sama sekali tidak benar karena penerimaan secara
nasional ternyata masih surplus. Sayangnya, pernyataan pemerintah selama ini tidak fair
karena informasi yang disampaikan kepada masyarakat hanya ditekankan pada sisi
peningkatan beban saja tanpa menunjukkan bahwa pemerintah juga mendapatkan
tambahan penerimaan, sehingga masalah sesungguhnya terutama terkait dengan
manajemen cashflow dan alokasi pengeluaran, bukan kebangkrutan keuangan negara.
Memang benar bahwa selain untuk pembayaran subsidi, pemerintah pusat mempunyai
kewajiban lain yaitu membagi peningkatan penerimaan minyak bumi dan gas kepada
Pemerintah Daerah melalui kebijakan Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas. Jika
formula saat ini digunakan, pembagian Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas
memang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan defisit dalam perhitungan
anggaran. Tetapi perlu dipahami bahwa ”defisit” yang terjadi akibat Dana Bagi Hasil
minyak bumi dan gas bukan merupakan kerugian riil pemerintah dan masyarakat karena
pada dasarnya secara nasional pemerintah tidak mengalami kerugian. Dengan alokasi
Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas, pada hakekatnya hanya terjadi perubahan
pencatatan kegiatan pembangunan dari pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah.
Pemerintah pusat saat ini memang memiliki permasalahan cashflow yang akan
berdampak pada berbagai permasalahan lain yang cukup serius seperti misalnya dalam
penyediaan BBM sehingga mengakibatkan kelangkaan BBM berkepanjangan. Beban
berat ini dapat diselesaikan dengan melakukan berbagai langkah kebijakan untuk
melakukan burden sharing kepada semua stakeholder baik pemerintah pusat,
Pemerintah Daerah, kreditor kalangan bisnis maupun masyarakat luas. Berbagai
terobosan yang dapat dilakukan antara lain merubah kebijakan alokasi Dana Bagi
Hasil minyak bumi dan gas, peningkatan penerimaan pajak, upaya peningkatan
efisiensi Pertamina, renegosiasi utang luar negeri, dll. Meskipun demikian perlu
ditegaskan bahwa berbagai terobosan kebijakan alternatif tersebut harus ditujukan agar
tersedia tambahan dana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mempercepat
pemulihan ekonomi.
4
Kampanye yang sangat agresif bahwa menaikkan harga BBM adalah satu-satunya
alternatif solusi persoalan APBN justru menunjukkan tidak adanya kreatifitas dan
keberanian melawan “conflict of interest” para pejabat, serta tidak adanya
keinginan untuk melakukan burden sharing kepada semua stakeholders. Padahal,
banyak pekerjaan rumah dan alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah
sebelum mengambil jalan pintas dengan menaikkan harga BBM, antara lain:
1. Reformasi Tata Niaga Minyak Bumi dan Gas: Hapus Brokers Pemburu Rente
Telah menjadi rahasia umum, bahwa proses pengadaan dan distribusi BBM oleh
Pertamina sarat dengan KKN dan ketidakefisienan. Selama ini, volume pasokan
BBM, baik yang diproduksi oleh kilang dalam negeri maupun yang diimpor,
jauh lebih tinggi dibanding jumlah BBM yang benar-benar dikonsumsi oleh
masyarakat dan industri.
Kebocoran, inefisiensi dan penyalahgunaan BBM bersubsidi diperkirakan mencapai
25 sampai 30 persen. Jika harga minyak dunia seperti saat ini (sekitar USD 60 per
barel) dan asumsi kurs rupiah sebesar Rp 9.300 per USD, sehingga subsidi BBM
mencapai Rp 129 triliun, maka kerugian akibat inefisiensi, kebocoran dan
penyalahgunaan bisa mencapai sekitar Rp 35 triliun.
Selain dalam distribusi dan transmisi BBM (lihat Tabel-2), sumber ketidakefisienan
lain yang nyata-nyata merugikan negara adalah pada proses impor yang masih
melalui trading companies (brokers), baik dalam pembelian minyak mentah (368,7
barel per hari) maupun BBM (premium, solar, dan minyak tanah) sebanyak equivalen
210 ribu barel per hari. Keberadaan brokers tersebut sebenarnya telah dihapus pada
era pemerintahan Habibie dan Gus Dur, tetapi kembali dihidupkan pada era
pemerintahan Megawati. Saat ini, mekanisme impor melalui brokers tersebut
menjadi lebih sulit dihapus karena perusahaan brokers terkait dengan keluarga
dan kroni pejabat di pemerintahan. Kerugian negara akibat conflict of interest
tersebut dapat dihapuskan jika Presiden mengambil langkah tegas untuk
menghapus berbagai praktek pemburu rente dalam industri minyak bumi dan
gas.
Selain pemborosan uang negara triliunan rupiah per tahun, mekanisme impor melalui
brokers juga memiliki kelemahan lain yaitu hilangnya kesempatan untuk memperoleh
kelonggaran dalam jadwal pembayaran. Brokers pemburu rente tersebut nyaris tidak
memiliki kredibilitas dan posisi tawar untuk menegosiasikan jangka waktu
pembayaran dalam pembelian minyak dan BBM terhadap pemasok besar. Pengadaan
BBM selama ini dilakukan secara cash and carry sehingga sangat memberatkan
cashflow Pertamina dan Pemerintah serta menekan nilai tukar rupiah seperti yang
terjadi saat ini.
Seandainya Pertamina melakukan deal langsung dengan pemasok minyak mentah dan
BBM, besar kemungkinan Pertamina akan memperoleh kelonggaran waktu
pembayaran minimum 3 bulan atau bahkan lebih. Jika hal ini dilakukan, tekanan
terhadap cashflow Pertamina maupun nilai tukar rupiah akan dapat dikurangi.
Di samping itu, terdapat berbagai sumber inefisiensi dan KKN yang harus dihapuskan
untuk meningkatkan efisiensi, tata niaga minyak bumi dan gas dan mengurangi
pemborosan keuangan negara (lihat Tabel-3).
2. Revisi Formula Perhitungan Alokasi Dana Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas
Peningkatan subsidi BBM akibat melonjaknya harga minyak dunia, sebenarnya dapat
ditutupi oleh kenaikan penerimaan pemerintahan di sektor minyak bumi dan gas.
Misalnya, dengan kenaikan harga minyak dari USD 40 menjadi USD 60 per barel,
subsidi meningkat sekitar 70 triliun menjadi Rp 129 triliun. Akan tetapi di sisi lain,
penerimaan pemerintah dari sektor minyak bumi dan gas mengalami peningkatan
yang jauh lebih besar yaitu sekitar Rp 84 triliun.
Persoalannya, dengan formula perhitungan Dana Bagi hasil yang ada saat ini,
pemerintah masih harus membagi tambahan penerimaan minyak bumi dan gas
tersebut kepada Pemerintah Daerah sebesar Rp 16 triliun, sehingga pemerintah pusat
akan mengalami tambahan defisit sekitar Rp 2,4 triliun. Formula alokasi Dana Bagi
Hasil seperti di atas harus dirubah karena tambahan subsidi BBM seharusnya
juga menjadi beban Pemerintah Daerah, tidak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat.
Share this article :
 
Support : HARDI SUSANDI | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. dMaster eKonomi isLam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by hardisusandi.com
>