Oleh : KH. Shiddiq al Jawi
Ustadz, apakah boleh kita membayar zakat fitrah dalam bentuk uang?
Abu Fatih, Bandung
Jawab :
Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah ini menjadi dua
pendapat. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat
sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan
Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah,
Majmu' al-Fatawa, XXV/83).
Dalil mereka antara lain firman Allah
SWT (artinya), ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS
at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya
diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak
(termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam
bentuk uang. (Rabi' Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat
al-Fithr Tha'am, hal. 4)
Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi
SAW, ”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada
hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi). Menurut
mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat
fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm
Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3)
Kedua, pendapat yang
tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan
pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama
Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392;
Al-Majmu', VI/112; Al-Mughni, IV/295).
Dalil mereka antara lain
hadits Ibnu Umar RA bahwa, ”Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah
berupa satu sha' kurma atau satu sha' jewawut (sya'ir) atas budak dan
orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa, dari
kaum Muslimin.” (HR Bukhari, no 1503). Hadits ini jelas menunjukkan
zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan dinar
dan dirham (uang), padahal dinar dan dirham sudah ada waktu itu. (Rabi'
Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha'am,
hal. 9).
Menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur yang tak
membolehkan zakat fitrah dengan uang dan mewajibkannya dalam bentuk
makanan pokok. Alasan kami: Pertama, ayat QS at-Taubah : 103 memang
bersifat global (mujmal), yaitu zakat itu diambil dari harta (mal).
Namun telah ada penjelasan (bayan) dari As-Sunnah yang merinci bahwa
harta yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah bahan makanan, bukan
uang.
Kedua, hadits yang dijadikan dalil adalah dhaif (lemah),
karena ada seorang periwayat hadits bernama Abu Ma'syar yang dinilai
lemah. Demikianlah menurut Imam Nawawi (al-Majmu', VI/126), Ibnu Hazm
(al-Muhalla, VI/121), Imam Syaukani (Nailul Authar, IV/218), Imam
az-Zaila'i (Nashbur Rayah, II/431), Ibnu Adi, (al-Kamil fi adh-Dhu'afa,
VII/55), dan Imam Nashiruddin al-Albani (Irwa`ul Ghalil, III/844).
Padahal hadits dhaif tidak layak dijadikan dasar hukum.
Kalaupun
dianggap sahih, hadits itu bersifat mutlak, tanpa penjelasan bagaimana
caranya mewujudkan kecukupan (ighna`). Maka as-Sunnah memberikan
pembatasan (taqyid) mengenai caranya, yaitu mengeluarkan zakat fitrah
dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan uang. (Nada Abu Ahmad, Ahkam
Zakat al-Fithr Hal Yajuzu Ikhrajuha Qiimah, hal. 35).
Kesimpulannya, tidak boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk uang,
melainkan wajib dalam bentuk bahan makanan pokok. Wallahu a'lam.[]