Selamat datang di Hardi Susandi.Com

Krisis Finansial Global dan Dampaknya Bagi Sektor Riil: Kredibilitas Prediksi, Keberpihakan dan Pilihan Paradigma

Tuesday, May 11, 20100 komentar

Oleh;
Hendri Saparini, PhD

Krisis finansial yang terjadi saat ini bukanlah hal yang mengagetkan dan datang secara tiba-tiba. Prediksi bahwa akan terjadi krisis finansial global bahkan telah diperkirakan sejak beberapa tahun lalu. Demikian pula prediksi atas semakin besarnya potensi terjadinya resesi di Amerika pada tahun 2008 sejak awal tahun. Kelemahan struktural pada ekonomi Amerika baik dalam bentuk defisit fiskal, defisit neraca perdagangan (US$ 850 miliar), defisit transaksi berjalan (6% GDP), maupun ancaman inflasi energi dan rapuhnya ekonomi akibat kegiatan spekulasi akan menjadi faktor pendorong resesi.

Bila ekonomi Amerika yang mengalami shock, dampaknya pasti akan cukup besar bagi Indonesia baik. Memang benar Negara-negara Asia Timur terutama China, India, dan Korea telah menjadi magnet baru
pertumbuhan ekonomi dunia. Namun bukan berarti akan terjadi decoupling (pemisahan) antara ekonomi Amerika dan Asia, sehingga koreksi ekonomi Amerika akan berdampak sangat kecil terhadap ekonomi Asia. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar karena trade, financial dan economic linkages antara Asia Timur dengan Amerika masih sangat kuat, walaupun sudah tentu ada lag waktu dalam proses transmisinya .

Pada awal Januari 2008, dalam paparan ECONIT Economic Outlook 2008, Econit menyampaikan hasil analisa tersebut dan menyebutkan bahwa tahun 2008 sebagai The Year of The Bubbles (Tahun Gelembung) yang dapat pecah sewaktu-waktu bila pemerintah tidak mengantisipasi penigkatan gelembung finansial yang semakin mengkhawatirkan tersebut. Sayangnya, peringatan tersebut tidak ditanggapi sehingga tidak ada langkah antisipasi oleh pemerintah. Padahal bila dilakukan langkah cepat, maka gelembung ekonomi dapat dikempiskan secara perlahan sehingga dampaknya bagi sektor riil akan lebih minimal.

Dampak yang akan dirasakan oleh berbagai negara bila Amerika Serikat mengalami resesi ekonomi akan berbeda-beda. Berdasarkan pengalaman krisis ekonomi di Amerika Latin dan Asia, negara-negara yang memiliki kelemahan struktural seperti Indonesia (1997/98) ternyata menerima dampak yang lebih besar dari negara asal krisis seperti Thailand (Juli 1997). Namun, pemerintah Indonesia dan segelintir ekonom sejak awal telah salah prediksi dengan meyakini bahwa krisis ekonomi 2008 tidak akan berlangsung lama dan hanya terjadi di sektor finansial. Analisa yang dangkal mengakibatkan kesimpulan yang salah. Padahal untuk melihat dampak krisis ekonomi 2008 harus dilakukan analisa lebih dalam karena ada perbedaan besar antara krisis 1998 dan 2008 baik dari sisi penyebab krisis maupun dari ketahanan ekonomi untuk menghadapi shock.

Beda Krisis 1998 dan 2008
Pada tahun 2008 ekonomi nasional menghadapi kondisi ekonomi sosial yang lebih buruk dibanding 1998. Ekonomi mengalami kerapuhan bagaikan penyakit osteoporosis (rapuh tulang). Seolah bagus di luar tetapi keropos di dalam. Indikator finansial yang kinclong telah menutup buruknya kinerja sektor non finansial. Liberalisasi sektor keuangan telah mengakibatkan struktur industri keuangan sangat mudah digoyang oleh berbagai faktor eksternal karena mudahnya aliran dana jangka pendek yang masuk maupun dana keluar. Dari besarnya hot money yang masuk dalam lima tahun terakhir misalnya, tahun 2008 jumlahnya telah mencapai US$ 24.5 miliar, jauh lebih tinggi dibanding saat lima tahun sebelum krisis moneter tahun 1998 yang hanya sebesar US$ 14.8 miliar.

Dari sisi beban utang luar negeri pemerintah, pada tahun 1998 hanya sebesar US$ 54 miliar, sedangkan pada awal tahun 2008 telah mencapai US$ 88 miliar akibat percepatan penarikan utang luar negeri yang lebih tinggi. Faktor lainnya, bila pada tahun 1998 krisis tidak terjadi saat harga komoditas internasional turun, maka tahun 2008 dibarengi dengan penurunan harga komoditas yang luar biasa. Bagi Indonesia faktor ini sangat signifikan karena hampir 50% ekspor Indonesia adalah komodias primer. Penurunan harga yang tajam untuk CPO, tambaga, nikel, dll, akan menurunkan ekspor dengan sangat signifikan. Faktor-faktor tersebutlah yang antara lain menjadi titik lemah, sehingga saat terjadi resesi ekonomi di negara-negara maju, dampak yang terjadi di Indonesia bisa lebih lama dan dalam dibanding tahun 1998.

Kenaikan harga komodias dan aliran hot money telah berdampak signifikan bagi kinerja makroekonomi. Akibatnya, sejak beberapa tahun terakhir, ekonomi Indonesia menghadapi kontradiksi (missing link) antara kinerja makroekonomi yang relatif baik, di satu sisi dengan kinerja sektor riil yang merosot di sisi lain. Kontradiksi tersebut terjadi karena perbaikan makroekonomi adalah hasil faktor eksternal (externally-driven recovery) bukan karena kinerja di sektor riil.

Hal ini sangat berbeda dengan perbaikan makroekonomi, peningkatan surplus perdagangan maupun cadangan devisa yang terjadi di negara-negara Asia Timur lainnya seperti China, Korea, Thailand dan Singapura. Di negara-negara tersebut perbaikan makroekonomi disebabkan oleh kenaikan produktivitas, daya saing dan investasi. Dengan perbedaan tersebut, maka dampak shock eksternal terhadap ekonomi Indonesia akan lebih besar dibandingkan dengan negara Asia Timur lainnya.

Perbaikan kinerja makroekonomi selama 4 tahun pemerintahan SBY seperti pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran dan cadangan devisa yang ditopang oleh kenaikan ekspor akibat kenaikan harga komoditas di pasar dunia dan peningkatan modal spekulatif, telah menghasilkan stabilitas dan kinerja makroekonomi yang semu. Di pasar saham misalnya, kedua faktor tersebut telah mendorong kenaikan harga saham Bursa Efek Indonesia (BEI) sebesar 52% pada tahun 2007. Secara cepat dan pasti, sejak tahun 2007 mulai terbentuk balon finansial (financial bubble). Pada awal Januari 2008 sejumlah emiten mencatat PER (Profit Earning Ratio) yang sangat tinggi. Ada 26 emiten yang memiliki PER di atas 100 kali dan bahkan ada 11 emiten yang diantaranya memiliki PER lebih dari 300 kali.

Dampak lain dari peningkatan harga komoditas ekspor dan aliran dana jangka pendek adalah cadangan devisa yang mengalami peningkatan dramatis dari sekitar US$ 35 miliar pada akhir 2005 menjadi sekitar US$ 60 miliar pada tahun 2007. Peningkatan cadangan devisa tersebut ternyata tidak didukung oleh peningkatan daya saing ekspor maupun peningkatan aliran investasi langsung. Demikian pula peningkatan kredit terjadi terutama pada kredit konsumsi, sehingga terbentuk gejala sejenis subprime lending a la Indonesia seperti kredit sepeda motor, kartu kredit dan properti komersial. Aliran modal spekulatif juga menggelembungkan nilai aset finansial dan memperkuat nilai tukar rupiah.

Sejak 2007 dunia mengalami kenaikan harga pangan. Di Indonesia kelangkaan pangan dan kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus berlanjut sejak tahun 2007, menjadi masalah yang akan menyulitkan bila terjadi krisis di negara-negara maju. Kenaikan harga sumber utama karbohidrat seperti beras, terigu dan gula, serta sumber utama protein seperti kedelai (lebih dari 100%) dan minyak goreng yang sangat tinggi, telah memicu kemerosotan daya beli yang berdampak pada peningkatan NPL untuk kelompok debitur marjinal.

Selain masalah pangan, beban ekonomi Indonesia sejak tahun 2007 juga terbebani oleh harga minyak yang tinggi. Ketergantungan pangan dan impor yang tinggi inilah yang menjadikan tambahan beban yang menyulitkan Indonesia saat terjadi krisis. Apalagi pada bulan Mei 2008 pemerintah SBY tetap menaikkan harga BBM. Meskipun kenaikannya hanya 28%, jauh dibawah kenaikan Oktober 2007 yang sebesar 126%, dampak negatif terhadap daya beli dan daya saing cukup signifikan karena sebelumnya masyarakat telah menghadapi kenaikan harga pangan yang cukup tinggi. Sayangnya, pertimbangan kemampuan ekonomi dalam menaikkan harga BBM bukan menjadi prioritas. Semangat untuk segera meliberalisasi sektor migas dan melakukan disiplin anggaran ala IMF/Bank Dunia dengan memangkas berbagai subsidi jauh lebih dominan.

Beban berat sektor riil
Bagi Indonesia, krisis ekonomi yang terjadi pada tahun ini akan sangat berat karena struktur industri saat ini jauh lebih rapuh dibanding tahun 1998. Pada tahun 1996, Indonesia memiliki struktur industri pangan dan energi yang jauh lebih kuat. Namun saat ini, kenaikan harga pangan dan energi dunia sangat menekan ekonomi Indonesia karena ketergantungan pangan dan energi Indonesia yang jauh lebih besar dibanding 1998. Kenaikan harga kedua jenis komoditas strategis tersebut telah mengakibatkan penurunan daya saing dan daya beli masyarakat.

Kenaikan harga dan ketergantungan atas bahan baku dan energi impor telah menjadikan struktur industri manufaktur sangat rapuh. Bila pada tahun 1996, sebelum krisis kapasitas terpakai di berbagai industri masih pada level 85%, maka pada tahun 2008 diperkirakan rata-rata pada level 50-60% bahkan di beberapa sub sektor telah mencapai 30-40%. Kenaikan harga tersebut akan meningkatkan biaya produksi industri manufaktur yang selama tiga tahun terakhir mengalami pengkerutan (shrinking) dan percepatan de-industrialisasi (accelerated deindustrialization). Proses percepatan de-industrialisasi, terutama untuk industri padat karya, terjadi terutama karena ketidakjelasan strategi dan kebijakan industri, nilai tukar rupiah yang terlalu kuat akibat kenaikan harga komoditas internasional dan aliran hot money . Percepatan de-industrialisasi tersebut akan semakin mengurangi daya serap tenaga kerja industri manufaktur.

Pertumbuhan industri manufaktur, sebagai sektor pencipta lapangan kerja, telah jauh dibawah pertumbuhan ekonomi. Bila pada tahun 2004 pertumbuhan industri manufaktur masih sebesar 7,4%, maka angka ini terus menurun menjadi 5,1% pada tahun 2007 dan diperkirakan tahun 2008 ini hanya berkisar 4-4,5%. Kondisi akan terus berlanjut karena tahun 2009 diperkirakan hanya akan tumbuh sekitar 3,5%.

Melemahnya daya saing industri manufaktur Indonesia selain akibat peningkatan biaya produksi juga akibat hilangnya pasar. Di pasar internasional, strategi industri dan perdagangan Indonesia kalah dibanding strategi negara-negara pesaing seperti China, India maupun negara-negara industri baru seperti Vietnam, dll., sehingga pangsa pasar produk Indonesia terus tergerus. Di pasar domestik, akibat liberalisasi industri perdagangan yang tanpa strategi, pasar nasional untuk produk dengan nilai tambah dan teknologi rendah pun dikuasai oleh produk impor. Pakaian jadi misalnya, 77% pasar nasional dikuasai produk impor yang 70%nya masuk secara illegal. Untuk produk alas kaki, 60-70% juga telah dikuasai oleh produk impor. Masih banyak pasar domestik yang saat ini dikuasai produk impor seperti makanan, elekronik, termasuk berbagai bahan pangan seperti kedelai, daging sapi, susu, dll. Percepatan deindustrialisasi bahkan telah diikuti dengan pertumbuhan negatif di berbagai sektor padat karya sejak tahun 2007 seperti pada furniture, pakaian jadi, barang dari kayu, dll. Tidak mengherankan bila pada akhirnya terjadi gelombang PHK bahkan sejak tahun 2007 sebelum terjadi resesi ekonomi.

Respon kebijakan salah arah
Dalam beberapa tahun terakhir terjadi kecenderungan pembiayaan defisit APBN dengan menggunakan Surat Berharga Negara (SBN). Dengan dalih pembiayaan dalam negeri SUN maupun obligasi lebih murah dan ’tidak beresiko’ dibanding utang multilateral maupun komersial, maka tim ekonomi SBY-JK menggenjot penerbitan SBN. Namun, argumen bahwa pembiayaan defisit seperti SBN lebih ’tidak beresiko’ ternyata terbukti tidak benar karena kepemilikan asing pada SUN misalnya, terus meningkat. Bila pada tahun 2006 hanya sebesar Rp 54,9 triliun maka pada September 2008 telah mencapai Rp 105 triliun.

Peningkatan yang luar biasa terjadi karena dalam liberalisasi keuangan pemerintah tidak berhak mengatur sehingga terus menggelembung seiring membanjirnya hot money yang spekulatif. Sehingga, saat industri keuangan Amerika Serikat kolaps dan terjadi pelarian ke luar dana-dana jangka pendek, kepemilikan SUN asing menjadi hanya sekitar Rp 90,7 triliun dalam waktu dua minggu. Tentu saja capital outflow ini berdampak negatif pada cadangan devisa dan nilai tukar rupiah sehingga menimbulkan gejolak finansial di dalam negeri.

Dengan paradigma liberal, pemerintah SBY-JK menahan pelarian modal dengan menaikkan suku bunga karena langkah inilah yang disarankan IMF dan dilanjutkan dengan langkah buy back saham untuk mendorong kembalinya pasar saham. Pilihan kebijakan ini memang akan menyelamatkan kepentingan segelintir pemilik modal. Tetapi akan memberatkan ekonomi masyarakat luas dan sangat merugikan karena menggunakan dana masyarakat. Apalagi pasar finansial 65% nya dikuasai fund manager dan investor asing.

Semestinya ada langkah lain yang lebih baik untuk menyelamatkan ekonomi masyarakat yakni melakukan koreksi terhadap sistem ekonomi yang saat ini digunakan. Namun, hal tersebut akan sangat sulit dilakukan pemerintah. Salah satu cara mudah yang dapat dilakukan yakni dengan melakukan koreksi atas sistem devisa bebas dan sistem free floating rate pada nilai tukar saja tidak akan pernah mau. Bahkan desakan bagi pemerintah untuk menggunakan dana cadangan yang dimiliki untuk menyelamatkan sektor riil dengan penciptaan lapangan kerja juga tidak dilakukan. Padahal, bila ini yang dilakukan maka dana untuk buy back sebesar Rp 24 triliun akan mendorong permintaan makanan, pakaian, transportasi, dll yang akan menggerakkan ekonomi domestik.

Langkah lain yang seharusnya dilakukan adalah melakukan pemangkasan defisit anggaran untuk menutup peluang masuknya pinjaman IMF/Bank Dunia sebagaimana terjadi pada tahun 1998. Namun sebaliknya, pemerintah SBY justru berusaha menaikkan defisit dan memangkas target SBN dan diganti dengan penambahan utang luar dengan memanfaatkan forum G-20 untuk meminta utang dari negara maju dan IMF.

Ancaman krisis bagi Indonesia akan panjang dan dalam. Bila negara-negara maju meyakini krisis akan berdampak hingga akhir tahun 2009, maka bagi Indonesia tentu akan lebih lama. Oleh karenanya langkah untuk membuat pagar penyelamatan sektor riil harus dilakukan. Idealnya pengamanan dilakukan dengan kebijakan komprehensif baik lewat kebijakan moneter dan fiskal seperti diskusi di atas, maupun lewat kebijakan industri dan perdagangan agar industri nasional lebih kompetitif.

Untuk meningkatkan daya saing industri, langkah yang harus dilakukan adalah dengan menekan biaya produksi. Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menurunkan tingkat suku bunga, menurunkan harga BBM, tarif listrik, biaya transportasi, dll. Sayangnya, kebijakan penurunan harga BBM justru menjadi pintu masuk dihapusnya BBM bersubsidi bagi rakyat. Ditegaskan oleh pemerintah SBY-JK bahwa saat ini harga BBM untuk masyarakat luas akan diperhitungkan sesuai tinggi rendahnya harga minyak mentah internasional dan naik turunnya harga dolar. Bila harga minyak mentah dunia atau nilai tukar rupiah turun, maka harga BBM akan dinaikkan.

Ada beberapa hal yang patut dipertanyakan dari keputusan pemerintah SBY-JK untuk segera menghilangkan subsidi BBM ini. Pertama, apakah harga BBM yang ditetapkan dengan harga pasar tidak menyalahi tugas negara untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat. Menjamin seharusnya dimaknai sebagai upaya menjaga seluruh masyarakat dapat memperoleh energi yang dibutuhkan dengan harga yang terjangkau. Padahal, dengan kebijakan yang baru harga BBM akan fluktuatif yang berpotensi merugikan rakyat. Untuk menjawab keraguan ini pemerintah menyatakan bahwa harga BBM akan diatur dengan penetapkan harga batas atas, untuk premium Rp 6.000 per liter dan untuk solar Rp 5.500 per liter. Sepintas kebijakan ini sudah tepat. Namun, sejatinya pilihan ini tidak akan menjamin terpenuhinya kebutuhan BBM bagi masyarkat. Dengan kebijakan harga BBM yang tidak berfluktuasi saja banyak masyarakat yang tidak memperoleh BBM sesuai harga yang ditetapkan pemerintah. Apalagi bila harga BBM dikoreksi setiap bulan atau dua minggu sekali, maka masyarakat akan menghadapi ketidakpastian yang semakin besar.

Kedua, apakah kebijakan ini fair karena harga ‘pasar’ maupun ‘harga batas atas’ ditetapkan berdasarkan harga pokok produksi yang tidak efisien. Hingga saat ini pemerintah SBY-JK tidak bisa menjelaskan harga pokok BBM yang riil. Padahal angka tersebut menjadi dasar untuk menghitung besarnya subsidi BBM. Adalah tidak adil bila harga ’pasar’ untuk rakyat ditentukan berdasarkan harga pokok dalam kondisi pengelolaan migas yang amburadul. Pengelolaan migas dengan sistem cost recovery misalnya, telah mengakibatkan bagian migas pemerintah yang semestinya 85% menjadi hanya sekitar 54%. Kalau ini dikoreksi maka bagian pemerintah akan meningkatkan penerimaan APBN. Langkah lain, dengan mengurangi impor minyak mentah lewat upaya swap/pembelian langsung bagian para kontraktor (KPS), serta cara-cara efisiensi lainnya.

Ketiga, apakah keputusan tersebut tidak melanggar konstitusi dan Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001. Pasal 28 ayat 2 UU Migas menyebutkan bahwa ”harga bahan bakar minyak dan gas bumi ditentukan sesuai harga pasar” telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena harga komoditas yang menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Pasal tersebut akhirnya diganti dengan ”harga bahan bakar minyak dan gas bumi ditetapkan oleh pemerintah”. Ternyata para pendukung pencabutan subsidi BBM telah menyiapkan argumen terhadap tuduhan bahwa kebijakan penetapan harga BBM saat ini melanggar undang-undang. Dalam sebuah diskusi, para pendukung liberalisasi migas membantah bahwa pemerintah melakukan pelanggaran karena hingga saat ini harga BBM masih ditetapkan oleh pemerintah. Memang benar harga BBM masih ditetapkan oleh pemerintah. Akan tetapi harga BBM ditetapkan oleh pemerintah didasarkan pada mekanisme pasar sesuai agenda liberalisasi.

Dukungan terhadap sektor riil selain dilakukan dengan upaya menurunkan biaya, juga harus dilakukan dengan menciptakan pasar bagi produk nasional. Tentu saja penciptaan permintaan dalam negeri tidak cukup dengan himbauan Presiden maupun demonstration effect para pejabat yang ’rela’ menggunakan produk dalam negeri, tetapi perlu dukungan kebijakan. Sebagai contoh, meskipun Wapres JK telah menggunakan sepatu Cibaduyut, akan tetapi selama tidak ada kebijakan untuk mengurangi penguasaan 70% pasar dalam negeri oleh produk impor, maka akan sulit untuk melakukan penyelamatan terhadap produk nasional.

Setelah ada desakan dari pemerintah, pada bulan Oktober pemerintah mengeluarkan Permendag No.44/M-DAG/PER/10/08. Tujuannya untuk membatasi impor 5 produk utama yakni makanan dan minuman, alas kaki, mainan anak, pakaian jadi dan elektronik per 15 Desember 2008. Namun, langkah penyelamatan industri nasional ternyata masih setengah hati. Terbukti pada tanggal 13 Desember, pemerintah menunda pemberlakuan peraturan tersebut hingga 1 Februari 2008. Meskipun penundaan hanya dilakukan selama 2 bulan lebih, akan tetapi akan berdampak negatifnya bagi sektor riil karena akan memberikan peluang bagi membanjirnya produk impor baik secara legal maupun illegal. Padahal, dalam kondisi krisis saat ini semua negara berpacu untuk membantu sektor usaha agar memenangkan persaingan global. Kekhawatiran tersebut ternyata terbukti. Sehari setelah penundaan Permendag tersebut, pemerintah Cina membuat MoU dengan pemerintah Indonesia untuk memberikan Special Buyer Credit Facility bagi Indonesia. Anehnya, pemerintah Indonesia justru bangga. Padahal fasilitas ini akan mendorong dan memudahkan para importir untuk menyegerakan impor produk-produk dari Cina karena mereka tidak perlu membayar dengan cash.

Sebagai penutup, dampak dari krisis global bagi sektor riil Indonesia akan sangat signifikan. Namun, tekanan terhadap ekonomi Indonesia bukan hanya akibat shock ekonomi dunia tetapi juga karena kesalahan pemerintah dalam memilih respon kebijakan. Kombinasi dari kredibilitas prediksi yang lemah, sehingga pemerintah tidak melakukan langkah antisipasi, serta pilihan kebijakan yang tidak mendahulukan kepentingan nasional, telah berakibat buruk. Semua negara memang terkena dampak resesi ekonomi negara-negara maju yang dimulai dari Amerika Serikat, memilih melakukan berbagai intervensi. Namun, bagi Indonesia yang memiliki struktur ekonomi rapuh dan pemerintahan yang memilih kebijakan ekonomi neoliberal mengakibatkan strategi untuk menghadapi krisis semakin berat. Jangankan melakukan koreksi terhadap sistem dan paradigma ekonomi. Untuk memilih kebijakan ekonomi yang memprioritaskan kepentingan nasional dengan peran negara yang lebih besar saja tidak dilakukan.
-o0o-
Share this article :
 
Support : HARDI SUSANDI | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. dMaster eKonomi isLam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by hardisusandi.com
>